Mengenal Tunangan dalam Islam dan Perbedaannya dengan Lamaran

Mengenal Tunangan dalam Islam dan Perbedaannya dengan Lamaran

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Jumat, 20 Des 2024 14:01 WIB
Ilustrasi khitbah, lamaran, meminang, Islami.
Khitbah. Foto: Freepik
Jakarta -

Tunangan atau bertunangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai "bersepakat". Dalam tradisi Jawa, tunangan dikenal dengan istilah "tetalen" yang bermakna "tali", seolah kedua pihak telah terikat dalam hubungan yang tidak dapat dilepaskan tanpa kesepakatan bersama.

Tunangan biasanya menjadi momen awal ketika seorang pria mendatangi keluarga calon mempelai wanita untuk meminta izin menikah. Tradisi tunangan di Indonesia sering diwarnai dengan kebiasaan lokal, seperti tukar cincin antara pasangan.

Namun dalam Islam, konsep tunangan seperti ini tidak memiliki dasar yang jelas dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi. Praktik ini sering kali disamakan dengan "khitbah" yang sebenarnya adalah proses lamaran dalam Islam seperti yang dikutip dari buku La Tahzan Ya Ukhti tulisan Anna Mutmainah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski terlihat serupa, lamaran dan tunangan dalam Islam memiliki perbedaan yang mendasar. Lamaran adalah langkah formal yang dilakukan sesuai syariat, sedangkan tunangan lebih merupakan tradisi budaya di Indonesia. Simak penjelasan selengkapnya berikut ini.

Perbedaan Lamaran dan Tunangan dalam Islam

Banyak orang menganggap bahwa khitbah atau lamaran sama dengan tunangan dalam Islam. Persepsi ini membuat budaya tunangan yang berkembang di masyarakat dianggap sah sesuai syariat.

ADVERTISEMENT

Mengutip buku Akad karangan Sobar D. Prabowo, sebagian besar orang Indonesia menganggap tunangan sebagai langkah wajib sebelum menikah. Tak jarang, masa tunangan berlangsung hingga bertahun-tahun sebelum akhirnya sampai ke jenjang pernikahan.

Namun, tunangan dalam Islam sebenarnya tidak dikenal sebagai bagian dari ajaran agama. Budaya tunangan cenderung meniru tradisi non-Muslim, seperti tukar cincin atau simbol lainnya. Meskipun dikatakan sebagai bentuk "pengikatan", praktik tunangan tidak memiliki dasar hukum agama maupun negara.

Sebaliknya, khitbah atau lamaran adalah langkah yang sesuai syariat Islam. Dalam khitbah, seorang pria secara resmi melamar seorang wanita sebagai bentuk keseriusan menuju pernikahan.

Ketika lamaran (khitbah) diterima, waktu akad nikah biasanya langsung direncanakan. Wanita yang telah menerima lamaran seorang pria juga tidak boleh dilamar oleh pria lain, kecuali lamaran tersebut dibatalkan karena suatu alasan.

Perbedaan mendasar lainnya adalah waktu dan kesiapan. Masa tunangan sering kali panjang karena pihak yang bertunangan biasanya belum siap menikah, baik secara materi, mental, atau adat.

Sementara itu, khitbah dilakukan oleh pihak yang sudah siap menikah. Khitbah berfungsi sebagai pendahuluan menuju pernikahan dan memberikan waktu kepada kedua calon pasangan untuk lebih mengenal satu sama lain sebelum akad nikah.

Menurut buku Fiqih Sunnah 3 tulisan Sayyid Sabiq yang diterjemahkan oleh Abu Aulia dkk., secara bahasa, khitbah berasal dari kata Arab خطب - يخطب - خطبة yang berarti berbicara.

Pelaku khitbah disebut khatib yaitu pihak yang meminang perempuan untuk dijadikan pasangan hidup. Dengan demikian, khitbah memiliki landasan kuat dalam Islam sebagai langkah menuju pernikahan, berbeda dengan tunangan yang lebih bersifat budaya.

Islam mensyariatkan khitbah agar kedua belah pihak merasa mantap sebelum memasuki pernikahan dengan tujuan menciptakan kesiapan lahir dan batin untuk membangun rumah tangga yang diridhai Allah SWT.

Syarat Tunangan dalam Islam

Mengutip dari sumber sebelumnya, berikut adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang melangsungkan tunangan dalam Islam:

  1. Seorang pria hanya boleh mengkhitbah seorang wanita yang tidak memiliki halangan syar'i untuk dinikahi. Halangan ini termasuk wanita tersebut adalah mahramnya, seperti ibu, saudara kandung, atau keponakan yang tidak boleh dinikahi dalam Islam.
  2. Wanita yang sedang dalam proses khitbah dengan pria lain tidak boleh dikhitbah.
  3. Wanita yang masih berada dalam masa iddah, baik karena perceraian maupun ditinggal wafat oleh suaminya, tidak boleh dilamar hingga masa iddahnya selesai.
  4. Seorang pria disarankan untuk mengenal lebih dahulu wanita yang akan dikhitbah, baik dari segi wajah, fisik, maupun sifat dan perilakunya.

Larangan setelah Bertunangan dalam Islam

Walaupun suatu pasangan sudah melakukan lamaran, tunangan dalam Islam tidak serta merta memberikan hak tambahan antara calon pasangan seperti yang ditulis dalam buku Rumahku Surgaku karya Miftah Faridl. Status keduanya tetap sama seperti sebelum bertunangan, yakni tidak memiliki hubungan sah yang membolehkan interaksi bebas.

Berikut adalah beberapa larangan setelah tunangan yang perlu diperhatikan agar sesuai dengan syariat Islam

1. Hindari Perbuatan atau Ucapan yang Mengarah pada Zina

Islam melarang keras segala bentuk perilaku atau perkataan yang dapat mendekati zina. Meskipun sudah bertunangan, menjaga batasan komunikasi dan perilaku tetap menjadi kewajiban bagi kedua calon pasangan.

2. Tidak Berdua-duaan di Tempat Tertutup

Tunangan tidak memperbolehkan pasangan untuk berduaan di tempat tertutup tanpa kehadiran mahram.

3. Tidak Berjalan Berduaan Tanpa Mahram

Islam mengajarkan agar calon pasangan selalu disertai mahram atau orang lain saat bersama, termasuk di tempat umum.

4. Hindari Tatapan dengan Syahwat

Bertatap-tatapan dengan disertai syahwat juga dilarang dalam Islam, meskipun sudah bertunangan. Menjaga pandangan adalah salah satu cara untuk mengendalikan diri dan menjaga hati tetap bersih.




(inf/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads