Apakah Nikah Siri Itu Sama dengan Zina? Ini Penjelasannya

Apakah Nikah Siri Itu Sama dengan Zina? Ini Penjelasannya

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Kamis, 21 Nov 2024 20:00 WIB
Pevita Pearce Menikah
Foto: Instagram @pevpearce
Jakarta -

Pernikahan adalah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan membangun keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan ajaran Islam. Islam memandang pernikahan sebagai penghormatan terhadap harga diri manusia, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١

Artinya: "Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam Islam, nikah yang sah adalah pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun sesuai syariat. Namun, bagaimana dengan nikah siri, yang kerap menjadi perdebatan di masyarakat? Apakah pernikahan ini dianggap sah menurut Islam, atau justru termasuk zina?

Saat ini, nikah siri sering memicu perdebatan karena meskipun secara agama mungkin dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun nikah, namun pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia karena tidak termasuk catatan negara.

ADVERTISEMENT

Penasaran bagaimana hukum nikah siri? Apakah nikah siri itu zina? Simak penjelasannya berikut ini.

Pengertian Nikah Siri dan Hukumnya dalam Agama

Istilah Nikah Siri berasal dari kata sirri dalam bahasa Arab yang berarti "rahasia", jika digabungkan, kata "nikah" dan "sirri" bermakna pernikahan yang berlangsung secara diam-diam. Mengutip buku Fiqh Munakahat karya Rusdaya Basri, secara etimologis, nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan secara tersembunyi atau tidak diumumkan kepada masyarakat.

Secara terminologis, nikah siri memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pertama, nikah siri merujuk pada pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali, sehingga tidak memenuhi salah satu rukun penting dalam syariat Islam.

Kedua, nikah siri juga menggambarkan pernikahan yang dilakukan dengan sengaja dirahasiakan, seperti tanpa resepsi atau pemberitahuan resmi kepada masyarakat. Biasanya, pasangan yang melakukan nikah siri memilih untuk tidak diekspos karena alasan privasi atau kondisi tertentu yang tidak memungkinkan publikasi pernikahan tersebut.

Dari sudut pandang hukum Islam, nikah siri memiliki berbagai pandangan di kalangan ulama. Mazhab Syafi'iyah dan Hanafiyah menganggap nikah siri sah selama rukun dan syarat pernikahan terpenuhi. Di sisi lain, ulama Malikiyah membolehkan nikah siri dalam kondisi darurat, misalnya untuk melindungi dari penguasa zalim atau situasi berbahaya. Sedangkan menurut pandangan Hanabilah, nikah siri dianggap makruh.

Di Indonesia sendiri, meskipun nikah siri dapat dianggap sah secara agama, namun pernikahan ini sering memunculkan perdebatan dikalangan masyarakat, jadi bagaimana hukum negara yang mengatur tentang pernikahan tentang adanya permasalahan nikah siri?

Hukum Nikah Siri Menurut Negara

Di Indonesia, nikah siri kerap dikenal sebagai "Nikah di Bawah Tangan," yang merujuk pada pernikahan tanpa melibatkan pejabat pencatat resmi, seperti petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga tidak tercatat dalam dokumen negara. Istilah "Nikah Di Bawah Tangan" mulai dikenal setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan resmi diberlakukan secara efektif pada 1 Oktober 1975.

Fenomena nikah siri, atau sering disebut sebagai pernikahan di bawah tangan ini kerap menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama bagi istri dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil sesuai peraturan yang berlaku. Kondisi

Salah satu dampak utamanya adalah status pernikahan yang tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga dianggap tidak pernah ada dalam catatan resmi negara. Akibatnya, anak yang lahir dari nikah siri sering kali tidak diakui secara hukum dan disamakan dengan anak di luar nikah. Selain itu, istri dan anak juga kehilangan hak waris di mata hukum.

Tak hanya itu, suami yang terikat dalam pernikahan siri secara hukum tidak memiliki kewajiban formal untuk memberikan nafkah. Jika suatu saat suami pergi atau meninggalkan keluarga, istri akan kesulitan untuk menggugat atau menuntut hak-haknya, termasuk hak anaknya.

Melihat dampak yang ditimbulkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya menetapkan Fatwa Nomor 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan sebagai pedoman nikah siri. Dalam fatwa ini, nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun dalam fiqh Islam tetapi tidak dicatatkan secara resmi di instansi berwenang.

Secara hukum, fatwa tersebut menyimpulkan bahwa:

1. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.

2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif madharrat (saddan lidz-dzari'ah).

Dengan demikian, Nikah siri dihukumi sah dan tidak menjadi bagian dari zina apabila memenuhi aturan yang berlaku dalam ketentuan ajaran agama Islam, seperti contoh menghadiri wali atau saksi.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads