Puasa merupakan ibadah yang dikerjakan umat Islam. Hukum puasa bisa wajib, sunnah, makruh dan juga haram. Apa saja puasa yang tergolong makruh?
Ada banyak macam puasa dan masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Sebelum menjalani amalan ini, muslim hendaknya telah mengetahui hukum puasa dan waktu pelaksanaannya.
Sebagian besar ulama sepakat berpendapat bahwa salah satu puasa yang hukumnya makruh adalah puasa di hari Jum'at.
Makruh Puasa Hari Jum'at
Mengutip buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dijelaskan salah satu puasa yang dimakruhkan adalah puasa di hari Jum'at secara khusus tanpa didahului atau dilanjutkan dengan puasa lainnya. Demikian juga puasa di hari Sabtu secara khusus.
Pendapat ini tidak disepakati oleh ulama mazhab Maliki, karena mereka berpendapat bahwa puasa di hari Jum'at secara khusus atau di hari lainnya tidak dimakruhkan.
Panduan Beribadah Khusus Pria yang ditulis Syaikh Hasan Muhamamd Ayyub dan diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar dijelaskan puasa di hari Jum'at hukumnya makruh. Hal ini berdasar pada hadits Nabi SAW, beliau bersabda,
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa sebelum atau sesudahnya." (HR Baihaqi)
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah mengkhususkan malam Jum'at untuk salat tertetu di antara malam-malam yang lain, dan janganlah kalian kalian mengkhususkan hari Jum'at utuk puasa tertentu di antara hari-hari yang lain, kecuali jika salah seorang kalian biasa berpuasa pada hari itu." (HR Muslim dan Baihaqi)
Menurut mayoritas ulama, larangan Nabi SAW tersebut adalah larangan yang mengisyaratkan pada hukum makruh. Menurut Ibnu Hazm, larangan tersebut mengisyaratkan pada hukum haram.
Puasa yang Hukumnya Makruh Menurut Empat Mazhab
Selain puasa di hari Jumat, ada beberapa puasa yang juga dimakruhkan menurut ulama empat mazhab. Masih merujuk buku karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, berikut pendapat ulama tentang puasa yang dimakruhkan:
1. Madzhab Hanafi
Menurut ulama mazhab Hanafi, puasa yang makruh terbagi menjadi dua, makruh tahrim dan makruh tanzih. Di antara puasa yang hukumnya makruh tahrim adalah: puasa hari raya Idul Fitri, puasa hari raya Idul Adha, dan puasa tasyriq. Meskipun seseorang yang melakukan akan mendapatkan dosa namun puasa tersebut tetap sah, dan jika dia telah memulainya lalu dibatalkan di tengah jalan maka dia tidak diharuskan untuk mengqadha puasanya.
Sedangkan puasa yang hukumnya makruh tanzih antara lain puasa hari Asyura (tanggal sepuluh pada bulan hijriah) secara khusus, tanpa didahului dengan puasa di hari sebelumnya (tanggal 9) atau tidak dilanjutkan pada hari setelahnya (tanggal 11).
Hukum makruh juga berlaku untuk puasa setiap hari tanpa henti, karena berpuasa tiap hari bukan membuat tubuh menjadi sehat namun biasanya akan membuat lemah. Begitu juga dengan puasa wishal, yaitu melanjutkan puasa di malam hari tanpa berbuka.
Makruh juga puasa bicara, yaitu menahan diri untuk tidak berbicara ketika berpuasa. Begitu juga dengan puasa sunnah yang dilakukan seorang wanita tanpa seizin suaminya, kecuali jika suaminya itu sedang sakit, atau sedang berpuasa juga, atau sedang berihram. Begitu juga dengan puasa seorang musafir, jika puasa tersebut menyulitkannya.
2. Mazhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, di antara puasa-puasa yang dimakruhkan lainnya adalah puasa di hari ketiga setelah hari raya ldul Adha, kecuali bagi jamaah haji yang melaksanakan hajinya dengan cara tamattu dan qiran, serta bagi jamaah haji yang diharuskan untuk menyembelih hewan qurban karena ada kecacatan dalam pelaksanaan haji atau umrahnya.
Puasa yang dimakruhkan lainnya adalah puasa setiap hari berturut-turut bagi pekerja, karena hal itu akan membuat tubuhnya menjadi lemas dan tidak sempurna dalam melakukan pekerjaannya. Juga berpuasa di hari maulid Nabi SAW, karena hari maulid hampir sama seperti hari raya Id atau hari besar nasional lainnya.
Makruh juga berpuasa bagi tamu yang tidak mendapatkan izin dari tuan rumahnya, kecuali puasa itu adalah puasa wajib seperti puasa qadha atau sejenisnya. Adapun hukum berpuasa bagi wanita tanpa seizin suaminya adalah diharamkan. Sebagaimana diharamkan pula puasa wishal, yaitu melanjutkan puasa di malam hari tanpa berbuka. Sedangkan untuk musafir, apabila berpuasa tidak membuatnya merasa kesulitan maka puasa lebih afdhal baginya daripada tidak berpuasa, sedangkan bila puasa akan menyulitkannya maka lebih afdhal baginya untuk tidak berpuasa.
3. Mazhab Syafi'i
Menurut mazhab Asy-Syafi'i, di antara puasa-puasa yang dimakruhkan lainnya adalah puasa orang yang sedang sakit, puasa musafir yang melakukan perjalanan jauh, puasa wanita yang sedang hamil, puasa ibu yang sedang menyusui, puasa sepuh yang sudah lanjut usia, apabila mereka merasakan berat sekali untuk berpuasa, apalagi jika dengan berpuasa maka akan dikhawatirkan penyakitnya akan bertambah parah, atau dikhawatirkan keselamatan jiwanya, atau semacamnya, maka hukumnya tidak lagi makruh, melainkan diharamkan.
Dimakruhkan pula bagi siapa pun untuk berpuasa di hari Jum'at secara khusus, atau di hari Sabtu secara khusus, atau di hari Ahad secara khusus, jika tidak ada sebab yang mengharuskannya untuk berpuasa, misalnya nadzar atau sejenisnya. Adapun jika ada sebabnya maka tidak dimakruhkan, begitu juga jika hari itu bertepatan dengan hari yang biasa seseorang berpuasa.
Dimakruhkan pula bagi siapapun untuk berpuasa setiap hari tanpa henti. Dimakruhkan pula untuk melakukan puasa sunnah bagi orang yang memiliki hutang untuk mengqadha puasa wajibnya, karena membayar hutang puasa wajib lebih penting dari pelaksanaan puasa sunnah.
4. Mazhab Hambali
Menurut mazhab Hambali, di antara puasa-puasa yang dimakruhkan lainnya adalah puasa wishal, yaitu berpuasa dua hari atau lebih tanpa berbuka. Makruh juga hukumnya puasa pada hari raya Idul Fitri, puasa hari raya Idul Adha.
Sedangkan puasa pada hari tasyrik hukumnya haram. Wanita yang tidak mendapatkan izin puasa dari suaminya, maka puasanya juga makruh.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana