Dalam Islam, setiap tindakan yang diambil oleh seseorang harus selaras dengan ketentuan yang ditetapkan dalam syariat agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk itu, diciptakan hukum Islam sebagai pedoman setiap manusia untuk bertindak.
Sebagaimana dikemukakan para ahli ushul al- fiqh dalam buku Fatwa hubungan antaragama di Indonesia karya Rumadi, mereka mengatakan,
"Menurut jumhur ulama ushul, hukum adalah titah Allah yang terkait dengan perbuatan seorang hamba (mukallaf), baik berupa tuntutan untuk mengerjakan dan meninggalkan, pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan, atau berupa wadh'i (sebab, syarat dan mani')."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum dalam syariat Islam terbagi menjadi lima, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Seorang muslim pasti sudah tidak asing lagi dengan lima istilah ini. Namun apa arti dari masing-masing jenis hukum ini?
Pengertian Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah
Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam yang ditulis oleh Iwan Hermawan, berikut adalah arti dari masing-masing jenis hukum islam, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
1. Wajib
Pengertian wajib secara bahasa berasal dari kata "saqith" yang berarti jatuh atau gugur, dan "lazim" yang berarti tetap. Secara istilah, wajib merujuk pada sesuatu yang diperintahkan oleh syariat secara tegas (ilzam).
Pelaksanaan sesuatu yang wajib akan mendatangkan pahala bagi pelakunya jika dilakukan dengan niat melaksanakan perintah Allah SWT, sedangkan jika seseorang meninggalkan kewajiban tersebut, ia berhak mendapatkan hukuman.
Pengertian wajib di sini sama dengan pengertain fardhu, mahtum dan lazim.
Hukum wajib terbagi atas empat bagian, yaitu:
1) Kewajiban dari waktu pelaksanaannya
Hukum wajib ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib Muthlaq
Wajib muthlaq adalah kewajiban yang tidak memiliki batasan waktu untuk pelaksanaannya. Contohnya adalah mengqadha puasa Ramadan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
b) Wajib Muaqqad
Wajib muaqqad adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dalam waktu tertentu dan tidak sah jika dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Kewajiban ini dibagi lagi menjadi tiga kategori, yaitu:
• Wajib muwassa, yaitu kewajiban yang memiliki waktu pelaksanaan lebih luas daripada waktu yang disediakan. Contohnya adalah salat dzuhur.
• Wajib mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya sama dengan waktu yang disediakan. Contohnya adalah puasa Ramadan.
• Wajib Dzu Syabhaini, yaitu kewajiban yang merupakan gabungan antara wajib muwassa dan wajib mudhayyaq. Contohnya adalah ibadah haji.
2) Kewajiban bagi Orang yang Melaksanakannya
Hukum wajib ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib aini, yaitu kewajiban yang bersifat pribadi dan tidak dapat dilaksanakan oleh orang lain atau diwakilkan. Contohnya adalah puasa dan salat.
b) Wajib kafa'i atau kifayah, yaitu kewajiban yang bersifat kelompok. Jika tidak ada satu pun yang melaksanakannya, maka semua akan berdosa. Namun, jika sudah ada beberapa orang yang melaksanakannya, kewajiban tersebut gugur. Contohnya adalah salat jenazah.
3) Kewajiban Berdasarkan Ukuran/Kadar Pelaksanaannya
Hukum wajib ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan. Contohnya adalah zakat.
b) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak memiliki ketentuan kadar tertentu. Contohnya adalah menafkahi kerabat.
4) Kewajiban Berdasarkan Kandungan Kewajiban Perintahnya
Hukum wajib ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib mu'ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan secara jelas dan tidak ada pilihan lain. Contohnya adalah membayar zakat dan melaksanakan salat lima waktu.
b) Wajib mukhayyar, kewajiban yang memberikan pilihan objek antara beberapa alternatif. Contohnya adalah kafarat untuk pelanggaran sumpah. seperti yang terdapat dalam Surah Al-Maidah ayat 89,
عَدتُمُ الْأَيْمَن فَكَفَّرَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَنِكُمْ وَمَسْكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٌ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ذلِكَ كَفَّرَةُ أَيْمَنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَنَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَتِهِ لَعَلَّكُمْ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ تَشْكُرُونَ
Arab Latin: lâ yu'âkhidzukumullâhu bil-laghwi fî aimânikum wa lâkiy yu'âkhidzukum bimâ 'aqqattumul-aimân, fa kaffâratuhû ith'âmu 'asyarati masâkîna min ausathi mâ tuth'imûna ahlîkum au kiswatuhum au taḫrîru raqabah, fa mal lam yajid fa shiyâmu tsalâtsati ayyâm, dzâlika kaffâratu aimânikum idzâ ḫalaftum, waḫfadhû aimânakum, kadzâlika yubayyinullâhu lakum âyâtihî la'allakum tasykurûn
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarat-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu."
2. Sunnah atau Mandub
Secara bahasa, mandub berasal dari kata "mad'u," yang berarti yang diminta atau dianjurkan. Secara istilah, mandub adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat tetapi tidak bersifat wajib. Ini berarti mandub tidak mencakup hal-hal yang haram, makruh, atau mubah, dan tidak memiliki konsekuensi hukuman jika ditinggalkan.
Dengan kata lain, seseorang yang melaksanakan mandub akan mendapatkan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak akan diberi hukuman.
Dalam literatur dan pendapat para ulama, mandub sering disamakan dengan istilah seperti sunnah, nafilah, mustahab, tathawi, ikhsan, dan fadilah.
Dalam fiqh, mandub merujuk pada tuntunan untuk melakukan suatu perbuatan baik, dan sangat disarankan. Seseorang yang melaksanakannya akan mendapatkan ganjaran, namun jika ditinggalkan, tidak ada masalah. Pengaruh tuntunan untuk melakukan perbuatan ini disebut nadb, sementara perbuatan yang dianjurkan disebut mandub. Contohnya termasuk memberi sumbangan ke panti jompo atau bersedekah.
Hukum sunnah atau mandub, jika dilihat dari tuntutan untuk melakukannya terbagi kepada dua bagian, yaitu sunnah mu'akkad, dan sunnah ghairu mu'akad.
Sedangkan hukum sunnah atau mandub, jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu sunnah hadyu, sunnah zaidah/zawaid, dan sunnah nafal.
1) Sunnah Mu'akkad
Sunnah muakkad adalah perbuatan yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan terdapat keterangan bahwa perbuatan tersebut bukanlah fardhu atau wajib. Contohnya termasuk salat witir dan salat dua rakaat fajar sebelum subuh. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sunnah muakkad ini dicela, meskipun tidak dianggap berdosa. Dan jika meninggalkan sunnah ini secara sengaja dianggap menyalahi sunnah yang biasa dilakukan Nabi.
Definisi lain menyebutkan bahwa sunnah muakkad adalah sunnah yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara konsisten, dengan penjelasan bahwa hal tersebut bukan kewajiban yang harus dilaksanakan.
2) Sunnah Ghairu Mu'akkad
Sunnah ghairu mu'akkad adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi beliau tidak melaksanakan perbuatan tersebut secara rutin.
Contohnya termasuk salat sunnah empat rakaat sebelum dzuhur dan sebelum asar. Sunnah ini tidak dikerjakan secara rutin oleh Rasulullah SAW, sehingga pelaksanaannya bersifat pilihan bagi umat Islam. Meskipun dianjurkan, meninggalkan sunnah ghairu mu'akkad tidak akan mendatangkan celaan atau dosa.
3) Sunnah Hadyu
Sunnah hadyu adalah perbuatan yang sangat dianjurkan karena memberikan manfaat yang besar. Meninggalkan sunnah ini dianggap sesat dan tercela, bahkan jika satu kelompok secara sengaja meninggalkannya terus-menerus, maka mereka harus diperangi.
Sunnah hadyu menjadi pelengkap kewajiban keagamaan, seperti adzan, salat berjamaah, dan salat hari raya. Dalam kategori sunnah, sunnah ini juga termasuk sunnah mu'akkad karena pahalanya yang besar.
4) Sunnah Zaidah/Zawaid
Sunnah zaidah adalah sunnah yang dianggap baik jika dilakukan oleh umat Islam, tetapi tidak mendapatkan sanksi jika ditinggalkan.
Contohnya adalah mengikuti kebiasaan nabi dalam aspek sehari-hari, seperti sopan santun, cara makan, minum, dan tidur.
5) Sunnah Nafal
Sunnah nafal adalah perbuatan tambahan yang dianjurkan untuk dilaksanakan bersamaan dengan kewajiban.
Contohnya termasuk salat sunnah dua rakaat setelah salat wajib, salat tahajud, dan salat witir. Secara istilah, sunnah nafal juga termasuk dalam kategori sunnah ghairu mu'akkad.
3. Haram
Muharram secara bahasa berarti "mamnu'" yang berarti dihalangi atau dilarang. Secara istilah, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh syariat dengan tegas dan wajib untuk ditinggalkan. Ini tidak mencakup hal-hal yang wajib, mandub, dan mubah, serta tidak mencakup yang makruh.
Orang yang meninggalkan perbuatan haram akan mendapatkan pahala jika dilakukan untuk menaati perintah Allah SWT, sementara yang melakukannya berhak mendapat hukuman.
Secara hukum, haram adalah perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh syariat. Menurut pendapat ulama jumhur, haram diartikan sebagai larangan Allah SWT yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik yang ditetapkan dengan dalil yang qathi (pasti) maupun dalil zhanni (tidak pasti).
Menurut madzhab Hanafi, hukum haram harus didasarkan pada dalil qathi (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikitpun, sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana dalam surah An-Nahl ayat 116, https://www.detik.com/hikmah/quran-online/an-nahl/tafsir-ayat-116-2017
وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَّلَ وَهُذَا حَرَامَ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبُ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Arab Latin: wa lâ taqûlû limâ tashifu alsinatukumul-kadziba hâdzâ ḫalâluw wa hâdzâ ḫarâmul litaftarû 'alallâhil-kadzib, innalladzîna yaftarûna 'alallâhil-kadziba lâ yufliḫûn
Artinya: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada- adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung".
Menurut jumhur para ulama, hukum haram terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena dasarnya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, di mana bahaya tersebut tidak bisa terpisah dari zatnya.
Perbuatan yang diharamkan karena alasan ini mencakup hal-hal seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, dan mencuri. Kemudharatan dari perbuatan ini berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga, yaitu badan, keturunan, harta benda, akal, dan agama.
Haram li dzatihi tidak boleh dilakukan sama sekali, kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, meminum khamr diharamkan karena merusak akal, namun dalam keadaan darurat, seperti menghindari kematian karena dehidrasi, dapat diperbolehkan.
2) Al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena sifat dasarnya, karena tidak mengandung kemudharatan. Namun, dalam kondisi tertentu, perbuatan tersebut dilarang karena ada pertimbangan yang dapat mengarah pada hal-hal yang diharamkan.
Contohnya termasuk jual beli barang secara riba, membeli barang yang sudah ditawar oleh orang lain, dan melakukan jual beli pada waktu azan salat jum'at. Dalam kasus ini, larangan terletak pada konsekuensi dari perbuatan tersebut, bukan pada perbuatan itu sendiri.
Di sisi lain, haram li ghairihi dapat dilakukan jika ada kebutuhan, meskipun tidak dalam pada keadaan darurat. Sebagai contoh, seorang dokter yang perlu mendiagnosis dan memberikan terapi kepada pasien perempuan diperbolehkan melihat aurat pasiennya jika itu memang diperlukan untuk melakukan terapi.
4. Makruh
Makruh secara bahasa berarti mubghadh (yang dibenci). Secara istilah berarti sesuatu yang dilarang oleh syar'i, tetapi tidak secara ilzam untuk ditinggalkan, atau sesuatu yang dilarang syar'i berarti tidak mencakup yang wajib, mandub, dan mubah. Tidak secara ilzam untuk ditinggalkan berarti tidak mencakup yang haram.
Makruh jika ditinggalkan karena melaksanakan perintah Allah SWT, maka pelakunya akan mendapat pahala, dan jika ia melakukannya tidak akan mendapat hukuman.
Dalam istilah ushul fiqh, makruh adalah sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.
Seseorang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang, karenanya ia berhak mendapat ganjaran pahala. Sedangkan bagi yang tidak meninggalkan larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang, karenanya ia tidak berhak mendapat ancaman dosa.
Larangan dalam bentuk ini disebut "karahah" dan pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang disebut makruh.
Dalam hal hukum makruh ini, para ulama membagi kepada dua bagian, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.
1) Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat secara tegas, berdasarkan dalil zhanni yang masih mengandung keraguan.
Contohnya termasuk larangan memakai bahan sutra dan perhiasan emas bagi laki-laki, serta poligami bagi orang yang khawatir tidak dapat berbuat adil. Melakukan makruh tahrim dianggap tercela.
2) Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan untuk ditinggalkan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Menurut jumhur ulama, pelaku makruh tanzih tidak dicela, sedangkan orang yang meninggalkannya dianggap terpuji.
Contohnya adalah memakan daging kuda saat sangat membutuhkan selama perang. Beberapa ulama Hanafiyah menganggapnya haram, tetapi jika dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan, meskipun dianggap makruh.
Pelaku makruh tahrim tergolong tercela, sementara pelaku makruh tanzih tidak dicela. Orang yang meninggalkan kedua jenis makruh tersebut akan mendapatkan pujian.
5. Mubah
Mubah adalah perintah Allah SWT yang memberikan kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Seseorang yang melakukan perbuatan mubah tidak akan mendapatkan ganjaran, dan tidak juga diancam atas perbuatannya. Hukum dan pengaruh terhadap perbuatan ini disebut "ibahah", sementara perbuatan yang diberikan pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan disebut "mubah".
Secara bahasa, mubah berarti "mu'lan" (yang diumumkan) dan "ma'dzun fih" (yang diizinkan). Dalam istilah, mubah adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan perintah atau larangan secara langsung, artinya tidak termasuk dalam kategori yang wajib atau mandub, dan juga tidak mencakup yang haram atau makruh.
Secara keseluruhan, perbuatan yang mubah tidak akan mendatangkan pahala atau siksa selama ia tetap dalam statusnya sebagai mubah.
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan madharat dan manfaat, ulama-ulama ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam tiga bentuk, antara lain:
1) Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudharat, seperti makan, minum, dan berpakaian.
2) Mubah yang apabila dilakukan tidak ada mudharatnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya makan daging babi saat keadaan darurat.
3) Mubah yang apabila sesuatu itu pada dasarnya bersifat mudharat dan tidak boleh dilakukan menurut syara', tetapi Allah SWT memaafkan pelakunya.
Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum Islam seperti menikahi bu tiri.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI