Krisis air masih terus berlangsung di Jalur Gaza. Bahkan, krisis semakin diperparah semenjak serangan Israel pada Oktober 2023 yang memanas hingga melakukan blokade pada akses air bersih.
Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, jumlah minimum air yang dibutuhkan seseorang sehari dalam keadaan darurat adalah 15 liter. Namun, warga Gaza bertahan hidup hanya dengan mengandalkan tiga liter air bahkan kurang dalam sehari.
Salah satunya yang dialami warga Khan Younis ini yang bernama Hashim. Kisahnya diceritakan oleh sang cucu kepada Religion Media Centre.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hashim biasanya menggunakan air botol bekas untuk menampung air yang digunakan berwudhu. Botol bekas tersebut diambil dari bekas sabun pencuci piring yang dapat menampung kurang lebih 1,5 liter air.
"Kakek saya menggunakan wadah yang menampung 1,5 liter air, yang bisa digunakan sepanjang hari untuk berwudhu dan mencuci tangan setelah makan," kata cucu Hashim.
Cucunya mengatakan, Hashim menggunakan air tersebut untuk keperluan berwudhu sehari-hari. Biasanya, dalam sekali wudhu, Hashim hanya menghabiskan kurang dari 3 inci air atau kurang lebih 0,05 liter air saja. Dengan kata lain, Hashim kurang lebih hanya menghabiskan kurang dari 0,5 liter air untuk salat 5 waktu dalam sehari.
Hashim tinggal di sebuah kamp pengungsian bersama sekitar 100 pengungsi lainnya. Tiap harinya mereka selalu menghadapi tekanan terhadap fasilitas sanitasi yang ekstrem. Air keran, yang tidak aman untuk diminum pada waktu normal, berhenti mengalir sama sekali selama 12 hari pada awal Desember 2023.
Dilansir dari laporan CNN International dari Otoritas Air Palestina (PWA), sekitar 97 persen sumber air di Gaza tidak dapat diminum. Bahkan 10 persen air akuifer yang dianggap aman untuk diminum seringkali tercampur dengan air berkualitas buruk selama pendistribusian sehingga hanya baik digunakan untuk mencuci.
Satu-satunya akuifer di wilayah tersebut--yang terkontaminasi oleh limbah, bahan kimia, air laut---fasilitas desalinasi lingkungan, dan keran umum menjadi sumber utama bagi masyarakat Gaza. Beberapa orang bahkan mulai menggali sumur di daerah yang berdekatan dengan laut atau mengandalkan air keran yang asin.
Ditambah lagi, seorang peneliti senior Program Timur Tengah di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) mengatakan, satu-satunya air yang dimiliki masyarakat pada dasarnya adalah air laut yang tidak dapat diminum dan tercampur dengan limbah.
Kengerian krisis air ini juga berimbas pada perawatan jenazah. Ahmed Najar, seorang warga Palestina yang sempat tinggal di kamp pengungsi Jabalia, bagian utara Gaza mengaku neneknya tewas terkena tembakan oleh pasukan Israel di bagian dada dan kakinya.
Namun, keluarga mereka kesulitan untuk membersihkan jenazahnya karena krisis air yang dihadapi mereka. "Paman saya menguburkannya di suatu tempat--yang saya tidak tahu di mana. Dia (nenek) tidak dimandikan karena tidak ada air, dan dia tidak didoakan," ceritanya.
Serangan itu masih berlangsung bahkan setidaknya hingga hari ke-97. Laporan sementara pada Selasa (9/1/2024) dari kantor berita Palestina, WAFA, menyebutkan korban tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza mencapai 23.210 warga Palestina. Lebih dari 70 persen di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.
Sementara itu, sekurang-kurangnya ada 23.210 warga Palestina yang mengalami luka-luka dan lebih dari 7.000 orang dilaporkan hilang.
(rah/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!