Sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasari oleh ketetapan yang Allah SWT tentukan. Termasuk dalam aktivitas rahn atau gadai yang masuk dalam ruang lingkup muamalah.
Dalam fiqih muamalah, konsep rahn ialah akad menahan barang yang bersifat materi dan bernilai ekonomi sebagai bentuk pinjaman. Barang itu akan menjadi jaminan jika suatu saat yang berhutang tidak bisa mengembalikan dana yang telah diberikan pemberi pinjaman.
Definisi Rahn
M. Yasid Afandi, M.Ag. dalam bukunya Fiqh Muamalah memberikan penjelasan mengenai rahn secara lughawi al-tsubut wa al-dawan yang artinya tetap dan kekal. Sedangkan secara istilah pengertian rahn adalah menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan untuk dieksekusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maksudnya adalah menjadikan suatu barang/benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan syara' sebagai jaminan atas hutang. Selama dari barang tersebut hutang dapat diganti, baik keseluruhan atau sebagian.
Senada dengan definisi di atas, al-Bujairami dalam Maktabah Syamilah Bab Rahn, mendefinisikan rahn adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jaminan atas hutang yang diterima sebagai tanda kepercayaan saat hutang sulit dibayar. Dengan kata lain, pemberi hutang memiliki jaminan untuk mendapatkan kembali seluruh atau sebagian dari jumlah hutangnya jika peminjam tidak mampu melunasi hutang tersebut.
Dasar Hukum Rahn
Menukil buku Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam oleh A. Djazuli, dalam menetapkan dasar hukum rahn harus sesuai dengan ayat Al-Qur'an, dan hadis yang telah disepakati para ulama. Berikut dasar hukum rahn:
1. Surat Al-Baqarah ayat 283
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ
Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a., menyatakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ.
"Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya."
Syarat dan Rukun Rahn
Menukil buku Fiqh Muamalat oleh Ahmad Wardi Muslich, agar rahn itu sah maka diperlukan syarat sebagai berikut:
1. Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syariat tertentu dan waktu yang akan datang. Karena akad rahn sama dengan akad jual beli.
Apabila akad tersebut digantungkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal sedangkan akadnya sah.
2. Para pihak yang melakukan perjanjian dengan sah menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum maksudnya bahwa pihak rahin dan murtahin cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat dan mampu melakukan akad.
3. Hutang (Al-Marhunbihi)
Marhunbihi wajib diserahkan berupa uang atau benda. Serta besaran hutang harus diketahui oleh rahin dan murtahin agar hutang tetap bisa dimanfaatkan.
4. Marhun
Marhun merupakan harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya, sebagai jaminan hutang.
Sedangkan untuk rukun rahn diantaranya; pemberi gadai (rahin), penerima gadai (murtahin), barang yang akan digadaikan (marhun), hutang (marhunbih), pernyataan gadai (shighat, ijab dan qabul). Sempurna atau tidaknya suatu rahn tergantung dari pemenuhan 6 unsur rukun tersebut.
Resiko Kerusakan Marhun
Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menjelaskan bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya. Kecuali jika rusak atau hilangnya karena kelalaian murtahin.
Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya. Bila tidak demikian, jika ada kecacatan apalagi hilang menjadi tanggung jawab mereka.
Menurut Mazhab Hanafi, murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya. Baik marhun yang hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i, murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!