Aturan Nafkah Madhiyah setelah Bercerai

Aturan Nafkah Madhiyah setelah Bercerai

Hanif Hawari - detikHikmah
Rabu, 27 Sep 2023 11:45 WIB
ilustrasi harta dan uang
Ilustrasi nafkah madhiyah (Foto: Getty Images/iStockphoto/Moussa81)
Jakarta -

Nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi seorang suami terhadap istrinya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub dalam surat At-Talaq ayat 7:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ

Artinya: "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perkara perceraian dalam perkawinan merupakan persoalan perdata yang memiliki konsekuensi hukum ketika terjadi cerai talak, salah satunya berupa nafkah madhiyah. Hal itu merupakan nafkah yang belum terpenuhi dari suami sebagai pemimpin keluarga dan rumah tangga.

Pengertian Nafkah Madhiyah

Mengutip buku Hukum Perkawinan Islam oleh Ahmad Azhar Basyir, Nafkah Madhiyah (nafkah lampau) adalah nafkah yang telah dilalaikan atau ditinggalkan oleh seorang suami ketika masih berumah tangga. Di mana nafkah tersebut bisa berubah menjadi utang sejak menjadi kewajiban dan suami menolak untuk melakukannya.

ADVERTISEMENT

Ibnu Katsir dan al-Qurthubi menjelaskan kelebihan suami terhadap istri adalah bahwa suami bertanggung jawab nafkah pada istrinya. Sedangkan Quraish Shihab menyebut bahwa pemberian nafkah seorang suami kepada istri telah menjadi kelaziman dan kenyataan umum dalam berbagai lapisan masyarakat sejak lama. Quraish Shihab menyebut hal ini saat menafsirkan surah An Nisa ayat 34.

Pemberian nafkah tersebut tidak memiliki batas waktu. Selama status suami istri masih disandang, bahkan sesudah terjadi perceraian sekalipun.

Syarat Gugatan Nafkah Madhiyah

Mengutip jurnal berjudul Nafkah Madhiyah dalam Perkara Perceraian oleh Sisca Jadi Velawati, Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H., dan Rahmi Sulistyarini, S.H., M.H., gugatan nafkah madhiyah dapat dituntut istri kepada suami ketika tidak mampu memberi nafkah selama 3 bulan berturut-turut. Sebagaimana yang tertuang dalam shighat ta'lig atas istri yang diikrarkan oleh suaminya setelah akad nikah berlangsung, yang menyatakan bahwa:

  1. Suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut.
  2. Suami tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama 3 bulan berturut-turut.
  3. Suami menyakiti fisik atau jasmani istrinya.
  4. Suami membiarkan atau tidak memperdulikan istrinya selama 6 bulan.

Maka jatuhlah talak jika suami melakukan satu atau beberapa hal dari yang sudah dijelaskan di atas. Seorang istri dapat menuntut perceraian kepada suaminya dengan tuntutan nafkah yang tak dibayarkan tersebut dengan tuntutan Nafkah Madhiyah yaitu nafkah terhutang atau nafkah lampau.

Namun, apabila seorang istri terbukti melakukan nusyuz atau membangkang kepada suaminya semasa perkawinan maka nafkah madhiyah tidak dapat digugat istri. Hal ini sebagaimana Pasal 80 ayat 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menerangkan bahwa kewajiban seorang suami yaitu memberikan nafkah, kiswah (pakaian), tempat kediaman bagi istri dapat gugur apabila istri terbukti berbuat nusyuz.

Penentuan Kadar Nafkah Madhiyah

Nafkah terhutang yang tidak ditunaikan suami dapat digugat oleh istri ke Pengadilan Agama dengan gugatan nafkah madhiyah. Kendati demikian, tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam perihal diperbolehkan atau tidaknya menuntut nafkah lampau yang sengaja dilalaikan.

Diatur dalam Perundang-Undangan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dijelaskan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam Angka 1, untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan pascaperceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian khususnya nafkah madhiyah, nafkah iddah dan mut'ah dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak, ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atau suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu.

Selain itu, hakim memiliki hak ex officio. Subekti dan R. Tjitrosoedibio dalam bukunya Kamus Hukum menjelaskan, ex officio adalah hak dimiliki karena jabatannya dan tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan maupun atas permohonan. Jadi hak ex officio merupakan hak dan kekuasaan seorang hakim karena kedudukannya memberikan hak kepada seorang istri meskipun tidak dalam tuntutan istri dalam sidang perceraian yang diajukan oleh suaminya dalam perkara cerai talak.

Dapat disimpulkan penentuan kadar nafkah madhiyah terhadap perkara cerai talak tidak diatur secara eksplisit dalam hukum positif dan hukum Islam. Dalam memberikan pertimbangan dalam penentuan nafkah, majelis hakim didasarkan kepada dua hal yakni, penghasilan suami dan kebutuhan dasar istri.




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads