Setiap pasangan suami-istri sudah pasti mendambakan hubungan yang harmonis dalam sebuah pernikahan. Namun, ada masalah yang mungkin tidak bisa diselesaikan dan jalan satu-satunya hanya bercerai.
Dalam perkara perceraian dikenal istilah nafkah iddah, nafkah mut'ah dan nafkah madhiyah. Pada artikel kali ini akan dijelaskan mendalam mengenai nafkah iddah.
Pengertian Nafkah Iddah
Nafkah iddah terdiri dari dua suku kata yakni nafkah dan iddah. Dikutip dari Al Munawwir Kamus Arab oleh Ahmad Warson Munawwir kata nafkah berasal dari bahasa Arab yang berarti biaya, belanja dan pengeluaran uang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pernikahan, nafkah merupakan hak istri dan anak-anak yang harus terpenuhi seperti makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya. Nafkah wajib diberikan sesuai dengan ketentuan di dalam Al-Qur'an dan hadist.
Kembali mengutip Al Munawwir Kamus Arab, kata Iddah sendiri berarti menduga atau menghitung. Sedangkan menurut KBBI, kata Iddah diartikan sebagai masa tunggu (belum boleh menikah) bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, baik karena perceraian atau ditinggal mati.
Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 2 memaparkan, kata Iddah berasal dari kata al-'add dan al-ihsa', yang berarti hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh perempuan. Sedangkan Amir Syarifudin dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munahakat dan Undang-Undang Perkawinan menjelaskan, Iddah adalah masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nafkah Iddah adalah sejumlah harta atau benda (uang), yang bernilai dan dapat digunakan untuk biaya hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama dalam masa Iddah pada wanita yang baru saja diceraikan.
Dasar Hukum Nafkah Iddah
Pemberian nafkah iddah telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini berdasarkan pada Al-Qur'an surat At-Talaq ayat 7:
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ Ψ°ΩΩΩ Ψ³ΩΨΉΩΨ©Ω Ω ΩΩΩΩ Ψ³ΩΨΉΩΨͺΩΩΩΫ ΩΩΩ ΩΩΩ ΩΩΨ―ΩΨ±Ω ΨΉΩΩΩΩΩΩΩ Ψ±ΩΨ²ΩΩΩΩΩ ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ Ω ΩΩ ΩΩΨ’ Ψ§Ω°ΨͺΩ°ΩΩΩ Ψ§ΩΩΩΩ°ΩΩ Ϋ ΩΩΨ§ ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ Ψ§ΩΩΩΩ°ΩΩ ΩΩΩΩΨ³ΩΨ§ Ψ§ΩΩΩΩΨ§ Ω ΩΨ’ Ψ§Ω°ΨͺΩ°ΩΩΩΨ§Ϋ Ψ³ΩΩΩΨ¬ΩΨΉΩΩΩ Ψ§ΩΩΩΩ°ΩΩ Ψ¨ΩΨΉΩΨ―Ω ΨΉΩΨ³ΩΨ±Ω ΩΩΩΨ³ΩΨ±ΩΨ§ ΰ£
Artinya: "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari al-Qurthubi dalam bukunya al-Jami' al-Ahkam al-Qur'an menafsirkan ayat di atas, hendaklah seorang suami memberi nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya. Hingga dia memberi kelapangan kepada mereka, jika dia orang yang berkelapangan.
Imam Syafi'i dan para sahabatnya berkata,
"Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan Mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami, apakah dia seorang yang kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan."
Jenis Perceraian yang Diberikan Nafkah Iddah
Menurut Amir Nuruddin dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indonesia mengemukakan pendapat Muhammad Baqir Al-habsyi bahwasanya ada empat hal perempuan yang berada dalam masa iddah:
- Perempuan dalam masa iddah sebab talak raj'i berhak menerima nafkah dan tempat tinggal, mengingat statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya tetap memiliki hak-hak sebagai istri. Kecuali istri yang yang dianggap nusyuz.
- Perempuan dalam masa iddah sebab talak ba'in apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas nafkah dan tempat tinggal.
- Perempuan dalam masa iddah sebab talak ba'in apabila ia tidak dalam keadaan mengandung, menurut pendapat Malik dan Syafi'i mereka hanya mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ia berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama menjalani masa iddah.
- Perempuan dalam masa iddah sebab suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak berhak mendapat nafkah maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suami kini telah jatuh ke ahli waris yakni istri dan anaknya.
Kadar Pemberian Nafkah Iddah
Mengenai kadar dalam pemberian nafkah iddah tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun para ulama Mazhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal: pangan, sandang dan papan.
Mengutip buku Al Ahwal As Syakhsiyah 'Ala al-Mazhab al-Khamsah Ja'fari-Hanafi-Maliki-Syafi'i-Hanbali oleh Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan, kalau suami-istri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu maka nafkahnya disesuaikan pula dengan itu. Yang dimaksud kadar berada dan tidak berada istri adalah kadar berada atau tidaknya keluarganya, yakni kadar kehidupan keluarganya.
Dalam hal keadaan, ulama Mazhab berbeda pendapat. Menurut Maliki dan Hanbali, apabila yang satunya kaya dan lainnya miskin maka besar nafkah yang ditentukan adalah setengah-setengah dari hal itu.
Imam Syafi'i dan para sahabatnya berkata,
"Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan Mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami, apakah dia seorang yang kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan."
Di kalangan Hanafi terdapat dua pendapat, pertama diperhitungkan berdasarkan kondisi suami-istri. Dan yang kedua berdasarkan kondisi suami saja.
(hnh/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim