Pengertian hukum taklifi secara bahasa adalah pemberian beban. Dikutip dari tulisan berjudul Kajian Hukum Taklifi Menurut Para Imam Mazhab dalam jurnal Tahkim: Jurnal Hukum dan Syariah, hukum taklifi menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan.
Tulisan karya Fikri Muhtada, dkk, dari IAIN Ambon menjelaskan, hukuf taklifi dinamakan demikian karena langsung dilaksanakan tiap mukallaf. Hukum taklifi dibagi-bagi menurut keharusan untuk taat dan konsekuensi yang ditaggung seorang umat.
Untuk lebih jelasnya, artikel ini telah merangkum beberapa penjelasan tentang hukum taklifi dalam Islam. Pastikan untuk membaca ulasan di bawah sampai akhir, ya!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Taklifi
Dalam buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam karya Iwan Hermawan dijelaskan, hukum taklifi adalah firman Allah SWT terkait seorang mukallaf. Hukum ini menuntut manusia untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih terhadap suatu perbuatan.
Misalnya hukum yang menunjukkan perintah sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Ada juga contoh hukum yang menunjukkan larangan, seperti larangan memakan harta benda anak yatim, zina, dan mabuk.
Hukum taklifi bisa juga menyangkut tentang tata cara sesuatu dalam agama. Contohnya, bagaimana tata cara yang benar dalam melaksanakan shalat. Dalam hukum taklifi inilah kemudian adanya istilah halal, haram, wajib, sunnah, makruh, dan lainnya.
Hukum-hukum ini ditujukan pada umat Islam yang berstatus mukallaf. Istilah mukallaf merujuk pada orang yang sudah cukup dewasa dan dalam kondisi sadar. Mukallaf dianggap mampu menerima dan melaksanakan hukum taklifi.
Jenis-jenis Hukum Taklifi
Dalam buku Ushul Fiqh Jilid I karya Amir Syarifudin disebutkan adanya perbedaan jenis hukum taklifi di kalangan ulama. Dalam mazhab Hanafi, hukum taklifi terbagi menjadi fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram, dan mubah.
Sedangkan ulama lainnya kemudian sepakat membagi hukum taklifi menjadi lima jenis saja. Termasuk dalam mazhab Syafi'i yang dianut kebanyakan muslim Indonesia. Berikut penjelasan tentang jenis hukum taklifi
1. Wajib (Ijab)
Secara bahasa, wajib berarti saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan, dimana jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Dari pengertian tersebut, wajib sama dengan fardhu, mahtum, dan lazim.
Hukum wajib ini kemudian terbagi ke dalam 4 dasar utama. Pertama adalah hukum wajib berdasarkan waktu pelaksanaannya, yaitu:
- Wajib Muthlaq: Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya.
- Wajib Muaqqat: Kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang sudah ditentukan tersebut.
Kedua, hukum wajib berdasarkan orang yang melaksanakannya terbagi menjadi dua jenis yaitu:
- Wajib Aini: Kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan oleh orang lain atau diwakilkan kepada orang lain.
- Wajib Kifa'i/ Kifayah: Kewajiban bersifat kelompok yang apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya, dan jika sebagian melakukan maka gugur kewajibannya.
Ketiga adalah pembagian hukum wajib berdasarkan ukuran/kadar pelaksanaannya yaitu:
- Wajib Muhaddad: Kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang sudah ada ketentuannya.
- Wajib Ghairu Muhaddad: Kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
Terakhir adalah hukum wajib yang dilihat dari segi kandungan kewajiban perintahnya yaitu:
- Wajib Mu'ayyan: Kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain.
- Wajib Mukhayyar: Kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
2. Sunnah (Mandub)
Sunnah atau mandub secara bahasa adalah mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Artinya, sesuatu yang diperintahkan oleh syar'i berarti tidak mencakup haram, makruh, dan mubah.
Hukum sunnah atau mandub bisa dilihat dari dua segi pembagian. Pertama berdasarkan tuntutan, yaitu:
- Sunnah Mu'akkad: Perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi, disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.
- Sunnah Ghairu Muakkad: Sunnah yang dilakukan oleh nabi, namun nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian.
Kedua adalah pembagian hukum sunnah dilihat dari segi kemungkinan untuk meninggalkannya yang dibagi menjadi:
- Sunnah Hadyu: Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya, dan orang yang meninggalkan dinyatakan sesat dan tercela.
- Sunnah Zaidah/Zawaid: Sunnah yang apabila dilakukan oleh mukallaf maka dinilai baik, namun jika ditinggalkan tidak akan diberi sanksi apapun.
- Sunnah Nafal: Sebuah perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib.
3. Haram
Secara bahasa, haram berarti mamnu' yaitu yang dihalangi dan dilarang. Sederhananya, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh syar'i yang berarti tidak mencakup wajib, mandub, dan mubah.
Istilah hukum haram adalah sesuatu yang dituntut syar'i untuk tidak melakukannya dengan tuntutan yang pasti. Para ulama juga menambahkan, haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap sebuah perbuatan yang ditetapkan dengan dalil qath'i (Al Quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma Haram) atau zhanni (Hadits Ahad dan Kias Haram).
Secara garis besar, ada dua jenis hukum haram, yaitu:
- Al Muharram Li Dzatihi: Sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa dipisahkan dari zatnya.
- Al Muharram Li Ghairihi: Sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, melainkan karena esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.
4. Makruh (Karahah)
Makruh secara bahasa berarti mubghadh (yang dibenci). Hukum makruh adalah sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala, namun jika dilanggar juga tidak berdosa.
Dalam hukum makruh, para ulama membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu:
- Makruh Tahrim: Sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti, karena didasarkan pada dalil zhanni yang masih mengandung keraguan.
- Makruh Tanzih: Sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya atau larangan syara' terhadap sebuah perbuatan, namun larangan tersebut belum bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
5. Mubah (Ibahah)
Secara bahasa, mubah berarti mulan (yang diumumkan) dan ma'dzun fih (yang diijinkan). Sederhananya, sesuatu yang bersifat mubah tidak akan mendatangkan pahala atau dosa bagi yang mengerjakannya.
Hukum mubah juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan perintah yang tidak mencakup wajib atau mandub. Serta bukan juga larangan yang mencakup muharram dan makruh.
Itulah beberapa penjelasan tentang ulasan hukum taklifi dalam Islam. Hukum taklifi pada hakikatnya mencakup segala bentuk tata cara, larangan, dan izin seorang mukallaf sebagai seorang Muslim.
Semoga artikel ini bisa membantu dan bermanfaat untuk kamu ya, detikers!
(row/row)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
PBNU Kritik PPATK, Anggap Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Serampangan