Sosok Sunan yang Pertama Kali Menciptakan Huruf Pegon

Sosok Sunan yang Pertama Kali Menciptakan Huruf Pegon

Tsalats Ghulam Khabbussila - detikHikmah
Senin, 05 Jun 2023 09:30 WIB
wali songo
Ilustrasi sunan yang pertama kali menciptakan huruf pegon. Foto: Ilustrasi: Fauzan Kamil
Jakarta -

Sunan yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa adalah Sunan Ampel. Huruf ini ada karena diketahui dari berbagai keterangan, Sunan Ampel ingin Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

Merangkum detikHikmah, nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, dan ia adalah putra dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Pada tahun 1443 M, Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa bersama adiknya, Sayid Ali Murtadho.

Nama "Ampel" diambil dari Ampel Denta, sebuah daerah rawa yang diberikan kepadanya oleh Raja Majapahit. Di daerah ini, Sunan Ampel mendirikan pesantren yang dikenal dengan nama Pesantren Ampel Denta, yang terletak dekat Surabaya. Pesantren ini menjadi tempat beliau beraktivitas. Sunan Ampel kemudian meninggal dunia pada tahun 1491 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentang Huruf Pegon Ciptaan Sunan Ampel

Salah satu penjelasan mengenai hal ini adalah dituliskan dalam buku Wali Sanga tulisan Masykur Arif. Dijelaskan bahwa demi mempermudah pemahaman masyarakat Jawa terhadap agama Islam, Sunan Ampel menciptakan huruf pegon atau tulisan Arab yang disesuaikan dengan bahasa Jawa. Dengan menggunakan huruf pegon ini, ia mengajarkan ajaran-ajarannya kepada para murid.

Diketahui bahwa hingga saat ini, huruf pegon yang pertama kali diciptakan oleh Sunan Ampel masih digunakan sebagai materi pembelajaran agama Islam di lingkungan pesantren.

ADVERTISEMENT

Selain terkenal dengan huruf pegon, Sunan Ampel dikenal memiliki falsafah hidup yang cukup terkenal, yaitu moh limo yang berarti menolak untuk melakukan lima perbuatan tercela. Di antara kelima perbuatan tersebut adalah:

  1. Moh main (menolak untuk berjudi).
  2. Moh ngombe (menolak untuk minum arak atau mabuk-mabukan).
  3. Moh maling (menolak untuk mencuri).
  4. Moh madat (menolak untuk menggunakan narkoba, seperti mengisap candu, ganja, dan sejenisnya).
  5. Moh madon (menolak untuk berzina atau terlibat hubungan intim dengan perempuan yang bukan istrinya).

Falsafah moh limo ini diajarkan oleh Sunan Ampel ketika Kerajaan Majapahit mengalami situasi kekacauan dan banyak orang yang terlibat dalam perbuatan tercela seperti berjudi, minum minuman keras, merampok, mencuri, menggunakan ganja, dan berzina. Sunan Ampel mengajarkan falsafah ini sebagai cara untuk menolak dan menjauhi perbuatan-perbuatan tercela tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dijelaskan lebih lanjut dalam buku yang sama bahwa Sunan Ampel tidak hanya menginspirasi masyarakat umum, tetapi juga mendapatkan kekaguman dari Raja Majapahit saat itu, yaitu Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya menganggap Islam sebagai agama yang mengajarkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur.

Di tengah situasi kacau di Kerajaan Majapahit, ajaran agama yang mengedepankan budi pekerti yang mulia, seperti yang dipersembahkan oleh Sunan Ampel, sangat dibutuhkan. Meskipun Raja ingin mempertahankan tradisi kerajaan dan menjadi raja terakhir yang beragama Buddha, ia tidak melarang Sunan Ampel untuk berdakwah di kerajaan.

Dalam melaksanakan dakwah di Kerajaan Majapahit, Sunan Ampel dilarang oleh raja untuk menggunakan pendekatan paksa. Sunan Ampel menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, sesuai dengan prinsip Islam yang melarang dakwah dengan cara memaksa. Agama Islam harus disampaikan dengan cara yang indah, penuh hikmah, dan bijaksana.




(kri/kri)

Hide Ads