Ordonansi Haji: Sejarah Pengaturan Perjalanan Haji di Masa Hindia Belanda

Kolom Hikmah

Ordonansi Haji: Sejarah Pengaturan Perjalanan Haji di Masa Hindia Belanda

Penulis Kolom, Puji Raharjo Soekarno - detikHikmah
Jumat, 25 Jul 2025 17:00 WIB
Ilustrasi Haji
Foto: Infografis detikcom
Jakarta -

Revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang tengah bergulir saat ini bukanlah awal mula keterlibatan negara dalam urusan haji. Sejarah mencatat bahwa pengaturan terhadap perjalanan haji telah berlangsung sejak masa Hindia Belanda, ketika pemerintah kolonial mulai mengidentifikasi urgensi regulasi demi ketertiban dan keselamatan jemaah. Untuk memahami konteks perubahan hukum hari ini, kita perlu menengok kembali dinamika sosial dan kebijakan haji di masa lalu yang membentuk cikal bakal sistem birokrasi haji modern.

Dari Ordonansi ke Revisi Undang-Undang - Jejak Panjang Pengelolaan Haji oleh Negara

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ibadah haji memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan umat Islam di Nusantara, bukan hanya sebagai rukun Islam kelima, tetapi juga sebagai simbol prestise sosial dan spiritual. Sejak abad ke-19, semangat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji meningkat pesat seiring terbukanya jalur laut internasional melalui Terusan Suez dan berkembangnya moda transportasi kapal uap. Gelar "Haji" menjadi penanda keilmuan, pengalaman internasional, dan kepemimpinan moral yang diakui luas di tengah masyarakat. Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda memandang fenomena ini dengan penuh perhatian, baik sebagai potensi pengaruh keagamaan maupun dinamika sosial-politik yang perlu diawasi.


Sebagai respons atas peningkatan jumlah jemaah dan risiko yang menyertainya-seperti kematian di laut, penyebaran penyakit, serta eksploitasi oleh agen perjalanan tak resmi-pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak awal telah memberlakukan sejumlah regulasi haji. Dimulai dengan ordonansi tahun 1825 dan terus berkembang hingga 1930-an, negara kolonial menetapkan berbagai ketentuan administratif, pengawasan kesehatan, dan standar transportasi laut. Ini menunjukkan bahwa pengaturan haji sejatinya telah menjadi bagian dari kebijakan publik lintas abad, dengan pendekatan yang terus mengalami evolusi seiring waktu. Regulasi tersebut bukan sekadar bentuk kontrol, tetapi juga merupakan langkah awal menuju birokratisasi dan sistematisasi tata kelola haji yang kita kenal hari ini.

ADVERTISEMENT

Kini, semangat itu berlanjut dalam konteks negara-bangsa Indonesia. Pemerintah melalui revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kembali menegaskan pentingnya tata kelola haji yang aman, transparan, dan berkeadilan. Upaya ini mencerminkan kesinambungan sejarah bahwa negara memegang peran penting dalam menjamin hak warga untuk berhaji, sekaligus memastikan bahwa pengalaman ibadah tersebut berlangsung dengan tertib dan manusiawi. Maka, memahami akar pengaturan haji sejak abad ke-19 bukan semata soal sejarah, tetapi juga fondasi bagi kebijakan modern yang berpihak pada jemaah.

Dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 dan kemajuan teknologi kapal uap secara signifikan mempercepat serta mempermudah akses jemaah dari Hindia Belanda menuju Mekkah. Perjalanan yang sebelumnya memakan waktu berbulan-bulan kini dapat ditempuh dalam hitungan minggu, sehingga jumlah calon haji meningkat tajam. Banyak di antara mereka memilih berangkat melalui pelabuhan internasional seperti Singapura dan Malaka, di luar jalur resmi yang diatur pemerintah. Kondisi ini mendorong urgensi bagi otoritas Hindia Belanda untuk membangun sistem pengawasan dan penyelenggaraan haji yang lebih tertib dan terkoordinasi, guna memastikan keselamatan jemaah, mencegah praktik penyimpangan agen perjalanan, serta menjaga stabilitas sosial yang dapat terdampak oleh arus mobilitas keagamaan yang semakin besar.

Awal Mula Pengaturan: Mengapa Perlu Ordonansi Haji

Seiring meningkatnya jumlah umat Islam dari Hindia Belanda yang menunaikan ibadah haji sejak pertengahan abad ke-19, muncul kebutuhan mendesak akan sistem pengaturan yang lebih rapi dan menyeluruh. Lonjakan jumlah jemaah ini tidak hanya menimbulkan tantangan administratif, tetapi juga berimplikasi pada aspek sosial, kesehatan, dan logistik. Banyak kasus jemaah yang tidak kembali ke tanah air, jatuh sakit, atau bahkan meninggal dalam perjalanan. Fenomena ini mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan yang memastikan keberangkatan dan kepulangan jemaah dapat terpantau, terlindungi, dan tertib secara hukum serta kemanusiaan. Maka, lahirlah berbagai ordonansi haji sebagai respons atas kebutuhan akan regulasi yang memadai.

Ordonansi 1859: Legalitas dan Kejelasan Status Haji

Ordonansi pertama yang secara khusus mengatur haji diterbitkan pada tahun 1859. Tujuan utamanya adalah memberi kejelasan hukum terhadap status orang yang telah menunaikan haji dan memastikan mereka benar-benar menjalani ibadah tersebut. Pemerintah memberlakukan syarat adanya surat perjalanan dan ujian verifikasi bagi yang mengaku telah berhaji. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan administratif, tetapi juga untuk menertibkan penggunaan gelar "Haji" yang mulai dianggap memiliki pengaruh sosial yang besar. Di sisi lain, ordonansi ini menjadi upaya awal untuk mendata dan memantau mobilitas keagamaan lintas wilayah.

Ordonansi 1875-1923: Tiket Pergi-Pulang dan Pas Jalan


Untuk memperkuat kontrol administratif, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan pas jalan dan sistem tiket pulang-pergi mulai tahun 1875 hingga 1923. Setiap jemaah diwajibkan memiliki tiket yang membuktikan bahwa mereka telah membayar perjalanan secara lengkap, termasuk kepulangan. Selain itu, pas jalan berfungsi sebagai dokumen identitas resmi selama perjalanan, mencakup nama, usia, tempat asal, dan tujuan. Sistem ini dibuat untuk mencegah praktik penelantaran, perdagangan manusia, serta memastikan jemaah benar-benar kembali ke daerah asal. Langkah ini juga menandai kemajuan awal dalam pengembangan sistem dokumentasi perjalanan ibadah.


Ordonansi Pelabuhan dan Kapal Haji (1898-1932)

Dengan meningkatnya pelayaran haji, pemerintah juga mulai mengatur aspek teknis dan logistik melalui ordonansi pelabuhan dan kapal haji. Mulai akhir abad ke-19, hanya pelabuhan tertentu seperti Batavia dan Padang yang diizinkan menjadi titik keberangkatan resmi jemaah. Selain itu, kapal yang digunakan harus memenuhi standar tertentu untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan jemaah. Standarisasi ini mencakup jumlah maksimal penumpang, ventilasi, kebersihan, dan penyediaan air bersih. Meski awalnya dipandang sebagai pembatasan, kebijakan ini memberi dampak positif dalam mengurangi kematian dan penyebaran penyakit selama pelayaran panjang.


Ordonansi Kesehatan Haji (1911)


Salah satu terobosan penting dalam tata kelola haji kolonial adalah penerbitan ordonansi kesehatan tahun 1911. Latar belakangnya adalah tingginya angka kematian jemaah akibat wabah kolera, tifus, dan penyakit menular lain yang kerap menyebar di atas kapal dan pelabuhan transit. Melalui ordonansi ini, pemerintah mewajibkan pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah keberangkatan, serta memberlakukan karantina di lokasi tertentu. Petugas kesehatan pun ditugaskan untuk memantau kondisi jemaah, terutama di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Jeddah dan Pulau Kamaran. Kebijakan ini menjadi tonggak awal integrasi aspek kesehatan dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji.

Ordonansi 1932: Ruang Partisipasi Masyarakat

Pada awal dekade 1930-an, desakan dari masyarakat Islam terhadap perbaikan layanan haji semakin kuat. Pemerintah akhirnya menerbitkan Ordonansi Haji 1932 yang memberikan ruang bagi organisasi Islam untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pelayaran haji. Muhammadiyah dan organisasi lainnya diberi izin untuk mengelola pelayaran secara mandiri, dengan tetap mematuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Ini menjadi titik balik penting: pengelolaan haji tidak lagi bersifat sepenuhnya top-down, tetapi mulai memberi tempat bagi aspirasi umat. Ordonansi ini menjadi fondasi partisipatif dalam penyelenggaraan haji yang kemudian diwarisi dan terus dikembangkan dalam sistem haji Indonesia merdeka.

Dampak dan Respon Terhadap Ordonansi Haji


Penerapan berbagai ordonansi haji oleh pemerintah Hindia Belanda memberikan dampak signifikan terhadap perjalanan ibadah haji dari wilayah Nusantara. Meskipun awalnya lahir dari kekhawatiran dan kebutuhan administratif, regulasi-regulasi tersebut turut meningkatkan aspek keamanan dan keteraturan dalam pelaksanaan haji. Melalui pengawasan pas jalan, standar tiket pulang-pergi, serta pengaturan pelabuhan dan kapal, angka kematian dan penyebaran penyakit menular selama pelayaran dapat ditekan. Di samping itu, kejelasan aturan juga mendorong terbentuknya sistem dokumentasi dan pengelolaan jemaah yang lebih sistematis, yang menjadi cikal bakal sistem birokrasi haji modern yang kita kenal saat ini.


Di tengah ketatnya regulasi, masyarakat Muslim dan tokoh-tokoh keagamaan merespons dengan munculnya berbagai agen perjalanan dan lembaga sosial untuk memenuhi kebutuhan praktis jemaah di lapangan. Beberapa di antaranya didirikan oleh orang-orang Arab-Hadrami atau keturunan Timur Tengah, yang memiliki akses langsung ke jaringan pelayaran internasional. Lembaga-lembaga ini bukan hanya menyediakan jasa perjalanan, tetapi juga membantu jemaah dalam pengurusan dokumen, logistik, dan akomodasi selama di Mekkah. Keberadaan mereka menandai tumbuhnya kesadaran bahwa haji bukan sekadar ibadah individual, melainkan proses kolektif yang memerlukan dukungan institusional.

Partisipasi aktif kelembagaan Islam semakin menonjol sejak awal abad ke-20, khususnya dengan hadirnya organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Nahdlatul Ulama. Mereka terlibat dalam penyuluhan, advokasi kebijakan, hingga pendampingan teknis terhadap calon jemaah haji. Dalam banyak hal, organisasi ini mulai mengambil peran negara dalam mendidik masyarakat tentang manasik, kesehatan, hingga etika sosial selama berhaji. Respon kolektif umat Islam ini turut membentuk fondasi tata kelola haji berbasis pelayanan dan perlindungan jemaah yang terus dikembangkan hingga era Indonesia merdeka, dan kini menjadi dasar dalam pembaruan kebijakan haji nasional termasuk revisi UU No. 8 Tahun 2019.

Penutup

Sejarah ordonansi haji di masa Hindia Belanda mencatat bahwa pengaturan negara terhadap ibadah haji telah berlangsung sejak abad ke-19, jauh sebelum Indonesia merdeka. Meskipun berakar dari kepentingan administratif dan keamanan kolonial, regulasi-regulasi tersebut secara tidak langsung meletakkan fondasi awal bagi pengelolaan haji yang sistematis-mulai dari pengawasan perjalanan, kesehatan jemaah, hingga standar transportasi laut. Dari titik inilah lahir kesadaran bahwa ibadah haji, selain bersifat spiritual, juga memerlukan dukungan tata kelola negara yang cermat. Refleksi atas warisan sejarah ini menegaskan bahwa pengaturan yang baik bukanlah bentuk pembatasan, melainkan perlindungan bagi jemaah agar dapat menjalankan rukun Islam kelima dengan aman, tertib, dan bermartabat.

Kini, dalam konteks Indonesia merdeka, penguatan tata kelola haji terus berlanjut melalui revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 yang tahapannya sedang berlangsung. Dengan semangat Tri Sukses Haji: sukses ibadah, sukses ekonomi, dan sukses peradaban, negara tidak hanya hadir untuk memastikan jemaah menunaikan ibadah dengan benar (sukses ritual), tetapi juga untuk mengelola ekosistem haji yang memberi manfaat ekonomi nasional dan memberdayakan pelaku usaha dalam negeri (sukses ekonomi). Lebih jauh, haji juga dipandang sebagai momentum pembentukan akhlak kolektif, simbol moderasi, dan cerminan adab bangsa di panggung global (sukses peradaban). Dari sejarah ke masa depan, perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa haji adalah ladang amal sekaligus ladang kebijakan-di mana negara dan umat berjalan beriringan menuju pelayanan yang bermutu dan maslahat yang berkelanjutan.

Puji Raharjo Soekarno
Penulis adalah Deputi Koordinasi Layanan Haji Dalam Negeri, Badan Penyelenggara Haji RI

Artikel ini adalah kiriman pembaca detik.com. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Hide Ads