Islam banyak memberi kemudahan bagi umatnya dalam menjalankan ibadah, contohnya ketika menunaikan puasa wajib. Terdapat sejumlah keadaan pada kaum muslim yang syariat nyatakan boleh tidak berpuasa. Apa saja?
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menyebutkan ada beberapa hal serta kondisi bagi kaum muslim yang berakal dan sudah baligh, untuk boleh berbuka puasa wajib seperti Ramadan.
Keringanan boleh berbuka puasa bagi muslim yang demikian bukan berarti ia meninggalkan ibadah fardhunya, melainkan nantinya mereka tetap wajib mengqadha atau harus membayar fidyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi Boleh Berbuka Puasa tapi Wajib Membayar Fidyah
Masih dari Fiqih Sunnah, orang yang memperoleh izin berbuka dan harus membayar fidyah adalah orang tua renta atau lanjut usia (lansia laki atau perempuan), orang sakit yang sulit diharap kesembuhannya, para pekerja berat yang tak mendapat penghasilan selain dari profesi itu, dan perempuan yang lemah.
Muslim yang dalam kondisi tersebut diizinkan untuk berbuka apabila puasanya sangat memberatkan mereka. Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 184: "Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin..."
Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini tidak dinasakh, dan ayat ini berlaku untuk orang tua dan perempuan lemah yang tidak mampu berpuasa. Karena itu, ia wajib memberikan makanan kepada satu orang miskin untuk setiap harinya." (HR Bukhari, Abu Dawud, Baihaqi, Daruquthni & Hakim)
Untuk lansia ditambahkan Ibnu Abbas hanya memberi makan tidak wajib mengqadhanya. Begitu juga dengan keadaan sakit yang sulit diharap kesembuhannya pada diri seseorang, sehingga membuatnya amat berat dalam berpuasa, maka hukumnya sama seperti orang tua renta.
Sementara Muhammad Abdul mengatakan, "Yang dimaksud dengan orang yang berat menjalankan puasa di dalam ayat (Al-Baqarah: 184) adalah orang tua renta, orang yang sakitnya menahun, dan sejenis mereka, seperti orang yang mata pencariannya adalah pekerjaan berat. Juga para pelaku kriminal yang dihukum dengan pekerjaan berat sepanjang hidup jika mereka begitu berat menjalankan puasa dan punya sesuatu yang bisa digunakan untuk membayar fidyah."
Sayyid Sabiq turut menyebut kondisi hamil dan menyusui pada seorang wanita. Jika dalam keadaan demikian berpuasa tetapi mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, maka baginya boleh untuk berbuka.
Tetapi sebagai gantinya, mereka harus membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin selama sejumlah hari yang ditinggalkan puasanya.
Mengenai takaran makanan yang diberi kepada orang miskin dalam membayar fidyah, tidak tercantum dalam sunnah. Sehingga di kalangan ulama terjadi perselisihan pendapat. Ada yang menyebut satu sha', atau setengah sha', atau satu mud.
Kondisi Boleh Berbuka Puasa tapi Harus Mengqdhanya
Dalam buku Fiqih Sunnah disebutkan keadaan muslim yang boleh berbuka dan mesti mengqadah puasanya, yakni orang sakit yang kesembuhannya dapat diharapkan dan musafir (orang dalam perjalanan).
Mereka yang dengan kondisi demikian diizinkan berbuka, tetapi wajib mengqadha puasanya. Sesuai firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 185: "Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain..."
Sakit pada ayat di atas yang membolehkan seseorang berbuka adalah sakit yang akan bertambah parahnya atau dikhawatirkan terlambat sembuhnya apabila ia berpuasa. Tentunya hal ini diketahui atas pengamatan dokter dan diagnosis yang kuat.
Puasa orang sakit sementara ia menanggung derita penyakitnya terhitung sah. Namun, itu makruh baginya karena meninggalkan keringanan dari Allah SWT. Bahkan yang demikian bisa mendatangkan kerugian baginya.
Sementara boleh berbuka puasa bagi musafir, disandarkan pada sabda Rasul SAW di mana Hamzah Al-Asalami bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, aku kuat berpuasa ketika dalam perjalanan, apakah aku berdosa jika berpuasa?" Beliau menjawab:
"Berbuka (ketika seseorang melakukan perjalanan) adalah keringanan dari Allah. Siapa saja yang mengambilnya, itu adalah suatu kebaikan. Dan siapa saja yang ingin berpuasa, tidak ada dosa baginya." (HR Muslim, Nasa'i & Baihaqi)
Dijelaskan, apabila musafir niat puasa ketika malam, kemudian melakukan safar di waktu malam, maka ia boleh berbuka pada waktu siang. Sebagaimana riwayat Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW berbuka setelah Ashar ketika perjalanan ke Makkah pada tahun Fathul Makkah, sehingga kaum muslim sebagian berbuka dan sebagian lain tidak.
Kepada yang tidak ikut berbuka, beliau mengatakan mereka durhaka karena tak menolak keringan yang dihadiahkan itu setelah beliau perintahkan.
Jika seorang muslim berniat puasa dalam keadaan mukim, lalu ia pergi safar di waktu siang, jumhur ulama menghukumi bahwa ia tidak boleh berbuka.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
Hukum Merayakan Maulid Nabi Menurut Pandangan Ulama
4 Sifat Nabi Muhammad SAW yang Patut Diteladani