Ibadah haji dan umrah sering kali membuat jamaah berada dalam kondisi sangat padat, terutama saat tawaf, sa'i, atau memasuki area Masjidil Haram. Dalam situasi berdesakan seperti ini, tak jarang tanpa sengaja terjadi sentuhan dengan lawan jenis non mahram.
Sulit menemukan waktu ketika Masjidil Haram benar-benar lengang pada musim haji atau umrah, sehingga melakukan tawaf tanpa bersentuhan dengan lawan jenis hampir tidak mungkin.
Lalu, bagaimana hukumnya jika tanpa sengaja bersentuhan dengan non mahram saat berdesakan? Apakah wudhu menjadi batal? Berikut penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat Ulama tentang Sentuhan saat Berdesakan di Tanah Suci
Mengutip dari makalah Universitas Sains Al-Qur'an berjudul Bersentuhan Lawan Jenis Saat Thowaf karya Muhammad Khusnul Huda, hukum bersentuhan dengan non mahram atau lawan jenis dilihat dari dua sisi.
Pertama, al-lamis atau orang yang menyentuh. Dari sisi ini, orang yang menyentuh dengan sengaja hukumnya batal wudu. Kedua, al-malmus atau orang yang disentuh. Dalam mazhab Syafi'i, terdapat dua pendapat, yaitu pendapat yang paling sahih menyatakan bahwa wudunya batal, sedangkan pendapat kedua menyebutkan bahwa wudunya tidak batal. Pendapat kedua ini dipilih oleh sebagian kecil ulama Syafi'i.
Selanjutnya, melansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, pendapat inilah yang memberi keringanan bagi jemaah mazhab Syafi'i yang melakukan tawaf dalam kondisi berdesakan. Imam Nawawi dalam Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah menjelaskan kelonggaran tersebut dalam redaksi berikutnya.
"Termasuk cobaan yang merata dalam thawaf adalah sentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan. Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi'i rahimahullah. Menurut pendapat yang paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafi'i. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi'i. Sedangkan pendapat yang terpilih adalah yang pertama,".
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keringanan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah hukum asal dalam mazhab Syafi'i, tetapi sebagai solusi praktis bagi jamaah yang berada dalam kondisi padat dan sulit menghindari sentuhan. Pendapat minoritas yang biasanya kurang diutamakan, justru bisa dipakai dalam situasi tertentu karena mempertimbangkan masyaqqah atau kesulitan yang bersifat umum.
Pada akhirnya, para ulama seperti Imam Nawawi dan Sayyid Abdurrahman memberikan ruang agar umat tetap bisa beribadah dengan tenang tanpa memberatkan diri. Selama sentuhan dengan lawan jenis non mahram terjadi tanpa kesengajaan, wudu dianggap tetap sah, dan jamaah dapat melanjutkan ibadahnya tanpa harus mengulang wudu di tengah keramaian.
Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam memberikan kemudahan dalam beribadah, terutama ketika menghadapi kondisi yang tidak dapat dihindari, seperti kerumunan besar di Masjidil Haram saat haji maupun umrah.
Pendapat Empat Mazhab tentang Sentuhan dengan Non Mahram
Dalam buku Penuntun Praktis Shalat: Sudah Benarkah Shalat Kita karya Ustaz Agus Arifin dijelaskan bahwa salah satu pembahasan penting mengenai wudu adalah hukum bersentuhan dengan non mahram. Keempat mazhab memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini.
Menurut mazhab Hanafi, wudu tidak batal jika laki-laki menyentuh laki-laki atau banci (khuntsa -red), perempuan menyentuh perempuan atau banci (khuntsa), maupun banci (khuntsa) menyentuh siapa pun. Wudu hanya batal jika sentuhan itu menyebabkan keluarnya madzi atau jika yang bersentuhan adalah alat kelamin suami-istri.
Pandangan mazhab Maliki menyebutkan bahwa bersentuhan dengan non mahram tidak membatalkan wudu.
Dalam mazhab Syafi'i, wudu tidak batal apabila yang disentuh adalah anak laki-laki yang belum balig. Namun, tetap dianjurkan untuk memperbarui wudu.
Sementara menurut mazhab Hanbali, wudu juga tidak batal ketika menyentuh anak laki-laki yang belum balig, meskipun yang menyentuh merasakan kenikmatan.
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
Penjelasan Kemenag soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia
Hukum Memelihara Anjing di Rumah Menurut Hadits dan Pendapat 4 Mazhab
Eks Sekjen Kemenag Kritik Kemenhaj soal Skema Daftar Tunggu Antrean Haji