Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrah agar fleksibel. Ia menilai draf yang telah menjadi usul inisiatif DPR terlalu indonesiasentris membuat penyelenggara haji rentan berhadapan dengan hukum.
"Kalau UU Haji dan Umrah tidak ada relaksasi, tidak ada integrasi dengan taklimatul hajj, dengan aturan-aturan yang ada di Arab Saudi, maka siapa pun yang mengelola dan menanggungjawabi ibadah haji akan rentan menghadapi proses hukum," kata Mustolih dalam Forum Legislasi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI di Gedung DPR RI, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (19/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen UIN Jakarta itu menyebut 90 persen penyelenggaraan ibadah haji dilakukan di Arab Saudi. Sisanya seperti pendaftaran, manasik haji, dan pengurusan dokumen seperti paspor dan visa dilakukan di dalam negeri.
Mustolih menilai draf RUU Haji dan Umrah saat ini terlalu indonesiasentris. Ia menyoroti alokasi kuota haji yang berpotensi bermasalah.
"Satu contoh terkait aturan kuota haji. UU No 8/2019 yang eksisting hari ini, kuota haji khusus angkanya sebesar 8 persen. Tidak ada frasa paling banyak, tidak ada paling sedikit," paparnya.
Sehingga apabila diasumsikan kuota haji khusus sebesar 8 persen, haji reguler mendapatkan 92 persen. "Ini akan sulit diimplementasikan. Karena pasti dalam penyelenggaraan ibadah haji itu ada kuota yang tidak terserap. Pasti, karena ini menyangkut manusia. Bisa karena meninggal dunia, bisa hamil, bisa sakit, atau hambatan-hambatan lain," urai Mustolih.
Jika kuota haji tidak terserap, kata Mustolih, artinya pemerintah atau penyelenggara haji melanggar aspek besaran kuota.
"Tapi sayangnya ini belum dipahami. Apalagi dalam draf revisi UU yang baru nanti, DPR terlibat dalam penentuan kuota haji. Maka akan sangat birokratis, sementara dikejar waktu dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seperti yang terjadi di tahun 2024, DPR sedang reses dan menghadapi pemilu, sementara pemerintah berjibaku menyelenggarakan ibadah haji," ujarnya.
Selain itu, jika ternyata haji reguler tak bisa menghabiskan kuota yang ditentukan, Mustolih menyebut ini akan menjadi masalah. Ia pun mengusulkan agar aturan lebih fleksibel.
"Maka idealnya adalah, karena teman-teman PIHK atau Haji Khusus mereka adalah B to C (Business to Customer), lebih fleksibel. Kalau haji reguler kan paradigma procurement atau pengadaan sehingga kaku, birokratis dan terlalu rumit. Tapi beda dengan PIHK yang bisa lebih fleksibel," jelas Mustolih.
Doktor hukum itu kemudian mengusulkan frasa yang paling tepat untuk kuota haji khusus adalah minimal 8 persen, bukan maksimal 8 persen.
"Kita tahu yang namanya kuota tambahan itu tidak terjadwal, tiba-tiba diberikan, dan dalam waktu yang sangat singkat harus diisi, sehingga sulit pemerintah mengisi mendadak. Contohnya tahun 2019 dan tahun 2022 yang di mana kita mendapatkan kuota tambahan. Tetapi karena waktunya sangat mepet, akhirnya tidak dioptimalkan," katanya.
"Beda jika dalam UU, kuota haji khusus frasa nya paling sedikit 8 persen, maka ketika Arab Saudi memberikan kuota tambahan sementara pemerintah tidak siap mengisinya, teman-teman PIHK bisa mengisi dengan haji khusus," pungkas Mustolih.
Sementara itu, Ketua Tim 13 Asosiasi Haji dan Umrah M Firman Taufik menyebut idealnya UU Haji dan Umrah harus adaptif terhadap dinamika dan tantangan ke depan.
"Kami berharap para anggota DPR yang terhormat, memahami bahwa UU Haji dan Umrah sangat penting karena menyangkut hajat hidup umat dan dampaknya terhadap ekonomi nasional. Jika umrah mandiri dilegalkan melalui UU ini, maka potensial marketplace asing menguasai dan membunuh ekosistem ekonomi keumatan," kata Firman dalam forum yang sama.
Ia kemudian membandingkan sistem penyelenggaraan haji reguler dan haji khusus. Menurutnya, haji reguler hanya memiliki satu penyelenggara, yaitu pemerintah, dengan kuota 92 persen dan mendapat subsidi. Sementara haji khusus dikelola oleh swasta berlisensi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), tidak mendapat subsidi, dan kuotanya hanya 8 persen.
Firman menekankan pentingnya transparansi dalam metode penyelenggaraan, pembiayaan, serta pelayanan agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.
"Ini bukan hanya soal penyelenggaraan ibadah, tapi soal menjaga keberlanjutan ekosistem ekonomi umat. Jangan sampai undang-undang yang baru malah mematikan ekosistem yang sudah terbangun sejak lama," tegas Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) itu.
(kri/erd)
Komentar Terbanyak
Kemenhaj Rombak Sistem Antrean Haji, Tak Ada Lagi Masa Tunggu 48 Tahun
Antrean Haji Tiap Daerah Akan Dipukul Rata 26-27 Tahun
Jumlah Santri Sidoarjo Meninggal Akibat Musala Ponpes Ambruk