Di dalam ajaran Islam, ada dua ibadah yang memiliki keunikan dalam pola diperintahkannya, keduanya terhubung sedemikian intens sehingga jika dilakukan dengan sempurna akan menjadi jalan bagi manusia untuk membangun dirinya yang baru. Kedua ibadah itu adalah sholat dan puasa. Secara tartib pensyari'atan, sholat lebih dulu diperintahkan (tahun kesepuluh kenabian), menyusul kewajiban puasa tiga tahun kemudian (tahun kedua hijrah).
Sholat adalah ajaran yang diwahyukan secara khusus, Nabi Muhammad langsung menerima perintah tanpa melalui Malaikat Jibril dalam peristiwa Mi'raj di Sidrotil Muntaha, tetapi pahala dan keutamaan sholat dibeberkan di banyak hadits, baik shalat fardhu maupun sunnah.
Sementara puasa adalah ajaran syari'at yang diwahyukan melalui malaikat Jibril dan tidak secara khusus sebagaimana shalat, namun pahala puasa dirahasiakan di sisi Allah, sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi; "Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung." (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Shalat tidak bernilai jika terjebak pada formalitas belaka, apalagi sampai membuat pelakunya tidak disiplin, berharap pujian dan tidak gemar berbagi (lihat QS A-MΔ'Ε«n). Puasa juga demikian, bila dilakukan hanya untuk menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, sementara lisan dan hati menyebar fitnah dan kebencian, maka tidak bernilai apa-apa, pahala yang dijanjikan bubrah dan sirna.
Sholat dan puasa adalah sinergitas ibadah yang saling melengkapi dan menguatkan. Keduanya, memberi penekanan pada aspek result (hasil yang diperoleh setelah menjalaninya); bahwa kebaikan prilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pemahaman sisi esoteric dari kedua jenis ibadah ini. Saya membayangkan, jika pelaku sholat dan puasa mengerti betul keistimewaan yang terletak di dalam pensyari'atannya, niscaya ia berharap setiap waktu adalah sholat dan setiap bulan adalah Ramadhan.
Dimensi transendental
Bila puasa hanya berorientasi pada kekuatan fisik maka ia boleh jadi hanya soal pemindahan jadual makan. Tetapi faktanya ia lebih dari sekedar itu, puasa itu sangat transendental, puasa itu upaya kita melakukan pengosongan diri dari sifat-sifat hewani dan menjadikan diri dipenuhi sifat-sifat insani.
Puasa juga melambungkan ruhani kita pada maqam berdekatan dengan Tuhan lewat cara merasakan lapar. Untuk sementara waktu kita tidak diperkenankan mengkonsumsi apapun meskipun itu halal dan diperoleh dengan cara yang halal, tapi pada waktu tertentu itu kita dilarang (dari terbit fajar hingga terbenam matahari).
Maka, puasa itu jeda untuk menyadarkan kita akan alamat pulang, pulang keharibaan Tuhan, pulang pada keheningan paling sublim; yakni antara kita dengan Tuhan.
Pelaksanaan puasa yang penuh ketulusan itu seperti tengah mengembalikan proses kerja badani pada metabolisme tubuh yang alami. Toh, ada banyak jadual makan minum yang justru mendatangkan sakit bagi pelakunya. Puasa semacam jeda untuk menyeimbangkan pola makan yang tidak teratur itu. Lalu entah mengapa secara ruhani pelaku ibadah puasa seperti mengalami peningkatan yang signifikan.
Boleh jadi puasa ini memberikan jawaban bahwa laku batin itu harus diimbangi dengan laku lahir; puasa raga dengan menghindarkan diri dari makan, minum dan syahwat, sementara puasa jiwa dengan menundukkan nafsu pada ketaatan kepada perintah yang Maha Kuasa.
Kelahiran Manusia Baru
Dalam tradisi tasawuf, puasa merupakan latihan ruhani yang membakar hijab-hijab duniawi, melebur ego, dan menghadirkan kelahiran manusia baru, yakni manusia yang lebih dekat kepada Allah dan dapat mengoptimalkan peran kehalifahan untuk melayani manusia dan alam semesta.
Para sufi memandang puasa sebagai bentuk fana', yaitu peleburan ego dalam kehadiran Ilahi. Ketika seseorang menahan diri dari kebutuhan jasmani, ia tidak sekadar berlatih kesabaran, tetapi juga menanggalkan keterikatannya pada dunia materi. Dengan perut kosong, hati menjadi lapang. Dengan menahan hawa nafsu, jiwa menjadi jernih.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin menyebut bahwa hakikat puasa adalah meneladani sifat malaikat; makhluk yang tidak makan dan minum, serta selalu ingat kepada Allah. Inilah tingkat puasa khusus, di mana puasa tidak hanya fisik, tetapi juga ruh dan kesadaran batin.
Bagi para sΔlik (pejalan spiritual), rasa lapar bukanlah penderitaan, tetapi pintu menuju realitas yang lebih tinggi. Lapar melemahkan jasad, tetapi menguatkan ruh. Dalam kondisi inilah, seseorang lebih mudah mengalami kasyaf (terbukanya hijab batin) dan mencapai maqam ma'rifah (pengenalan mendalam kepada Allah).
Pendek kata, dengan riyadhah (olah jiwa) seperti puasa ini, manusia dapat mencapai kesejatian diri. Manusia bagaikan telah "dilahirkan kembali" dalam bimbingan cahaya ilahi. Puasa, sekali lagi, adalah proses kelahiran itu, membentuk diri baru yang lebih sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba sekaligus khalifah di atas muka bumi. β‘
Ahmad Nurul Huda Haem
Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!