Pada kurun waktu antara tahun 631 hijriyah hingga 679 hijriyah, seorang ulama besar Islam Imam Nawawi menulis sebuah kitab berjudul Adab al-Alim wa al-Muta'allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti. Kitab ini sangat populer hingga sekarang dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Salah satunya ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul, "Adab di Atas Ilmu".
Kitab semakin populer karena selain diajarkan kepada para santri di pesantren, juga di sejumlah sekolah-sekolah regular. Baik yang mempelajari secara penuh atau pun hanya mengutip judulnya saja, "Adab di Atas Ilmu", sering digunakan para guru untuk mengingatkan murid-muridnya.
Sekira tahun 1980-an saat masih duduk di Sekolah Dasar untuk pertama kalinya penulis mendengar kalimat, "Adab di Atas Ilmu" dari Simbah Kakung. Saat itu karena kedua orang tua merantau ke Jakarta, penulis dititipkan pada Simbah di sebuah kampung tak jauh dari kaki Gunung Lawu di Jawa Tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seumur hidupnya simbah tak pernah melihat, memegang apalagi membaca kitab Adab al-Alim wa al-Muta'allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti. Keluarga kami bukan dari golongan orang-orang yang berkesempatan mendapatkan pendidikan formal atau pun belajar di pesantren.
Kampung tempat kami tinggal tergolong terpencil jauh dari sekolah dan pesantren. Simbah mendengar kalimat "Adab di Atas Ilmu" secara getok tular alias dari mulut ke mulut rekan-rekannya juga tokoh di kampung yang dituakan.
Kalimat itu kemudian ditularkan ke kami para cucu-cucunya. Kebetulan di kemudian hari Simbah dipercaya menjabat Ketua Rukun Tetangga (RT), dan termasuk tokoh yang dituakan.
Sebagai seorang Ketua RT, tempat tinggal kami sering digunakan untuk acara kumpul warga. Selain itu hampir setiap hari tetamu datang. Dari yang sekadar silaturahmi, mengadukan persoalan antar warga, hingga minta izin untuk pinjam uang kas RT ke bendahara.
Tak jarang kami para cucu-cucunya yang masih duduk di bangku SD ini terlibat dalam pertemuan itu. Dan seperti biasa, Mbah Kakung tak bosan mengingatkan untuk selalu menjaga adab dan sopan santun. Seperti selalu menggunakan Bahasa Jawa Kromo Inggil jika berbicara dengan orang yang lebih tua usianya.
Di dalam adat Jawa, ada aturan tidak tertulis jika berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan Bahasa Kromo Inggil atau disebut juga krama halus. Kemudian jika berbicara dengan teman sebaya menggunakan Bahasa Jawa ngoko.
Satu nasihat Simbah yang penulis ingat adalah jangan pernah menganggap rendah orang lain. Simbah merasa perlu berulang kali mengingatkan hal itu karena khawatir kami para cucu-cucunya yang berkesempatan mengenyam pendidikan formal ini khilaf dan menganggap lebih rendah tetangga-tetangga kami yang kurang beruntung.
"Adab ono sak nduwure ilmu (Adab di Atas Ilmu)," begitu nasihat simbah.
Musabab saya cucu laki-laki satunya ketika itu nasihat simbah ditambah satu kata. "Adab di Atas Ilmu, Gus," kata Simbah.
Penambahan kata 'Gus' di sini bukan karena saya putra seorang kiai, atau ulama. Kata 'Gus' di sini kependekan dari kata 'Cah Bagus.'
Sepanjang hidupnya, Simbah memiliki kata panggilan kesayangan untuk saya yakni, 'Cah Bagus' yang kemudian diperpendek menjadi 'Gus'. Beliau tak pernah memanggil dengan nama asli saya.
Belakangan saya tahu bahwa, Cah Bagus di sini artinya anak ganteng. Bagus dalam Bahasa Jawa bisa berarti rupawan dan tampan. Namun bisa juga berarti bagus.
Hingga Simbah Kakung meninggal, saya belum sempat bertanya langsung kepada beliau, apakah yang dimaksud "Cah Bagus" di sini berarti anak ganteng atau anak bagus.
Yang pasti dari para tetua di kampung saya mendapatkan gambaran bahwa pendahulu kami sering memanggil anak cucunya dengan panggilan kesayangan yang sekaligus menjadi doa. Panggilan kesayangan "Cah Bagus" misalnya adalah doa agar anak cucunya kelak menjadi orang yang bagus akidahnya, bagus akhlaqnya, bagus adabnya dan bagus segalanya.
Doa yang ringkas namun sangat dalam maknanya. Didaraskan oleh orang-orang yang kuat dalam tirakat, insyaallah bisa menembus pintu langit. Setelah Simbah sudah tidak ada, giliran ayah saya yang selalu mengingatkan bahwa, "Adab di Atas Ilmu". Bedanya kali ini tanpa tambah kata "Gus."
Kali ini tak hanya bisa mendengar kalimat, "Adab di Atas Ilmu" tapi penulis membaca langsung buku tersebut meski dalam terjemahan bukan kitab aslinya. Dalam buku tersebut selain soal pentingnya menuntut ilmu, Imam Nawawi antara lain juga menekankan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para pencari ilmu.
Ada adab dan etika yang harus dijaga oleh murid dan guru dalam belajar maupun mengajar. Setiap para murid misalnya diingatkan untuk meluruskan tujuannya mencari keridhaan Allah SWT ketika menuntut ilmu. Hendaknya tujuan menuntut ilmu bukanlah dimaksudkan untuk mencari keuntungan duniawi atau bahkan merendahkan orang lain.
Pun begitu ketika menjadi guru atau pengajar ada adab dan etika yang harus diutamakan. Tak sepatutnya seorang pengajar dalam mengajar memiliki tujuan agar dikenal sebagai seorang yang hebat, lebih pintar dari orang lain yang kemudian bebas untuk merendahkan mereka, atau ingin mendapat segala fasilitas kemewahan dunia.
Sudah semestinya seorang guru memiliki akhlak dan adab yang baik. Senantiasa berperilaku baik yang tingkah lakunya selaras dengan nilai-nilai Al-Qur'an dan hadits. Sejumlah ulama selalu mengingatkan agar para guru tidak merasa lebih pintar dari orang lain sehingga bisa menghina atau merendahkan mereka.
Dalam kitab Mukasyafatul Qulub, Imam Al-Ghazali menulis Kisah Nabi Daud yang mempertanyakan diciptakannya cacing tanah oleh Allah SWT. Suatu hari Nabi Daud duduk di tempat peribadahannya sambil membaca kitab Zabur.
Saat sedang membaca dia dikagetkan oleh munculnya seekor cacing berwarna merah di tanah. Nabi Daud yang heran kemudian berbisik dalam hatinya, "Apa maksudnya Allah menciptakan cacing tanah ini?"
Dengan izin Allah, cacing tanah tersebut kemudian bisa berbicara. "Wahai Nabi Allah, ketahuilah bahwa pada siang hari Allah memberikan ilham kepadaku untuk berdzikir dalam sehari dengan membaca "Subhanallah walhamdulillahi wala ilaha illahu wallahu akbar' sebanyak seribu kali", kata cacing tanah itu.
"Sedangkan pada malam hari Allah memberikan ilham kepadaku untuk bershalawat dengan membaca 'Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin nabiyyil ummiyyi wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallim' sebanyak seribu kali," lanjut sang cacing.
"Lalu apa yang kamu baca hingga aku bisa mengambil manfaat darimu?" tanya cacing tanah pada Nabi Daud.
Mendengar itu Nabi Daud menyesal karena telah menganggap rendah dan hina seekor cacing tanah. Nabi Daud merasa takut kepada Allah, bertaubat dan berserah diri kepada-Nya.
Selapas Sholat Subuh Rabu 4 Desember 2024 mendadak penulis kangen dengan panggilan kesayangan dari Simbah Kakung, "Adab itu di Atas Ilmu, Gus."
Erwin Dariyanto
Redaktur Pelaksana detikHikmah
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi di mana penulis berkarya.
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Konfirmasi Dugaan Nampan MBG Terpapar Minyak Babi
Erdogan Sebut Kematian di Gaza Itu Genosida Total dan Hamas Bukan Teroris
Israel Terus Serang Gaza di Tengah Menguatnya Dukungan Dunia untuk Palestina