Cerita Guru SD Rampungkan S2 dengan IPK 4, Sempat Bermimpi Jadi Kasir

ADVERTISEMENT

Cerita Guru SD Rampungkan S2 dengan IPK 4, Sempat Bermimpi Jadi Kasir

Pradito Rida Pertana - detikEdu
Selasa, 30 Nov 2021 08:30 WIB
Dita Ardwiyanti, guru SDIT di Bantul yang meraih IPK 4,00 di UNY Yogyakarta
Dita Ardwiyanti, guru SDIT di Bantul yang meraih IPK 4,00 di UNY Yogyakarta Foto: Pradito Rida
Bantul -

Seorang guru SD IT di Bantul berhasil merampungkan program S2 dengan IPK 4,00. Meski kuliahnya sempat terhambat karena terpapar COVID-19, mampu mencapai prestasi membanggakan tersebut. Seperti apa kisahnya?

Dita Ardwiyanti, perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai Guru SDIT Salsabila 4 di Pedukuhan Gatak, Kalurahan Sumberagung, Kapanewon Jetis, Kabupaten Bantul ini menceritakan awal mula perjalanannya hingga mampu menyandang gelar M.Pd dengan IPK sempurna.

Guru yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat ini mengaku awalnya tak bercita-cita menjadi guru. Sosok kasir yang selalu memegang uang menjadi mimpi sederhananya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya orang Pontianak, karena itu SMP masih di Pontianak. Dan dulu itu saya cuma mimpi satu jadi kasir karena kasir kan megang uang terus," katanya saat ditemui di SDIT Salsabila 4 di Pedukuhan Gatak, Senin (29/11/2021).

Dita melanjutkan, bahwa keinginan menjadi kasir saat itu karena mengetahui jika orang tuanya belum bisa membiayai kuliah. Karena itu Dita lebih memilih bekerja saja setelah lulus sekolah.

ADVERTISEMENT

"Pasti kan kalau jadi kasir gaji UMR dan bisa bantu orangtua. Karena saya tahu kalau orangtua saya tidak bisa membiayai saya kuliah, sepesimis itu saya saat itu," ujarnya.

Perempuan kelahiran 30 Desember 1995 ini melanjutkan, akhirnya mampu lulus jenjang SMP bahkan dengan meraih predikat nilai UN tertinggi se-Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Hal tersebut membuat salah seorang guru menyarankan Dita untuk meneruskan jenjang SMA di Yogyakarta saja, mengingat Dita sebelumnya ingin masuk ke SMK agar lulus bisa langsung bekerja. Apalagi ayahnya juga bekerja di Kabupaten Bantul.

"Terus guru saya bilang sayanglah kalau SMK. Tidak usah SMK tapi SMA dan pindah di Yogyakarta. Apalagi banyak universitas ternama di Indonesia berada di Yogyakarta," ucapnya.

Akhirnya Dita melanjutkan sekolah tingkat menengah di SMAN 2 Bantul. Setelah lulus SMA, guru bimbingan konseling (BK) kembali menyarankan Dita mengikuti program bidik misi Kemendikbud RI untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

"Saat itu guru BK saya mengarahkan apply bidik misi Kemendikbud RI saja untuk keluarga pra-sejahtera. Saya apply dan alhamdulilah sangat membantu sampai sekarang," katanya.

Alhasil perempuan berkacamata ini diterima di S1 jurusan Pendidikan IPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dita mengaku bersyukur bisa lolos program bidik misi dan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

"S1 saya beasiswa juga bidik misi karena saya bukan dari keluarga yang kaya raya. Bapak saya punya bengkel las di rumah ibu saya juga rumah tangga biasa," ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, Pedukuhan Gedongsari, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul ini akhirnya merampungkan program S1 pada bulan Mei tahun 2017. Setelah lulus, Dita langsung bekerja sebagai guru di SDIT Salsabila 4 Bantul.

"Saya Mei 2017 lulus S1 kemudian Juli 2017 saya keterima di sini (sebagai guru SDIT). Kemudian dua tahun mengajar di sini lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) dari Kemenkeu RI buka pendaftaran beasiswa S2," ujarnya.

Mendapat kesempatan tersebut, Dita tidak menyia-nyiakannya dan mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut. Setelah lengkap H-1 Dita mendaftar dan lolos untuk mendapatkan beasiswa S2 LPDP dan mulai mengikuti program S2 pada tahun 2019.

"Selanjutnya H-1 saya cari syarat termasuk TOEFL, yang horor itu kan TOEFL. Nah, alhamdulillah lolos dan kemudian saya masuk S2," ucapnya.

Setelah mendapat beasiswa S2, Dita langsung memberitahu Kepala SDIT tempatnya mengajar. Pasalnya, Dita mengaku tidak ingin fokusnya terganggu untuk menyelesaikan S2 jurusan Pendidikan Sains UNY.

"Saya orangnya perfeksionis, ingin melakukan suatu hal dengan detail. Istilahnya kalau terjun langsung sekalian basah gitu, jadi tidak setengah-setengah," katanya.

"Apalagi saat itu sebelum pandemi, kalau saya mengajar kan terbagi-bagi apalagi sekolah IT fullday dari pagi sampai sore harus stay di sini. Karena itu saat itu saya minta resign. Takutnya jadi beban dan tidak bisa fokus di salah satu," imbuh Dita.

Akan tetapi, permintaan Dita tidak disetujui oleh kepala sekolah. Bahkan, Dita didukung untuk merampungkan S2 karena saat itu pembelajaran secara daring.

"Tapi tidak boleh resign. Akhirnya diberi opsi cuti dengan gaji pokoknya masih dengan beberapa kewajiban masih tapi silakan lanjutkan pendidikannya. Saya tugas belajar 1,5 tahun, awalnya minta 2 tahun menyelesaikan S2nya," ujarnya.

Di tengah-tengah menyelesaikan S2, ternyata beberapa guru di SDIT tempatnya mengajar banyak yang mundur sehingga mengalami krisis guru. Oleh sebab itu Dita mau tidak mau harus kembali ke mengajar.

"Kalau sekolah swasta dinamis terkait pegawainya keluar masuk, itu hal yang biasa. Kebetulan saat itu kami betul-betul krisis guru dan itu guru di kelas atas," ujarnya.

"Dan mau tidak mau saya juga harus balik secepatnya, karena pandemi bisa nyambi, kan semuanya online. Semester ketiga saat thesis nekat masuk di sini, nanti kelas yang kekurangan guru saya yang handle (menanganinya)," lanjut Dita.

Tak berhenti di situ, upaya menyelesaikan S2 Dita harus melewati jalan terjal akibat dia dan keluarganya terkena COVID-19. Bahkan, Dita harus berhenti merampungkan S2 sekitar satu bulan akibat merawat orang tuanya yang terkena COVID-19 dengan gejala berat pada bulan Juli 2021.

"S2 tahun 2019 dan selesai 2021 ini, harusnya itu kalau on time bisa selesai bulan Agustus. Cuma kebetulan keluarga saya kena COVID-19, kami keluarga penyintas COVID-19 dan saat itu orangtua saya gejala berat dan harus merawat orangtua saya selama satu bulan penuh," ucapnya.

Setelah satu bulan berlalu, Dita kembali berupaya menyelesaikan S2nya yang sempat tertunda karena serangan gelombang kedua COVID-19. Alhasil dia berhasil merampungkan S2 pada bulan November ini.

"Jadi selama satu bulan itu saya sama sekali tidak ngapa-ngapain dan fokus perawatan orangtua. Baru aktif lagi setelah semuanya beres, baru bisa terjun lagi makanya undur Agustus seharusnya yudisium malah jadi November. Jadi 2 tahun 2 bulan," katanya.

Bahkan, Dita lulus dengan IPK sempurna yakni 4,00. Dita mengaku yang tidak jauh berbeda juga terjadi saat menempuh program S1. Di mana saat itu Dita mampu lulus dengan IPK 3,89.

"S1 itu IP semester 1 4,00, kemudian saat lulus IPK 3,89," ujarnya.

Lihat juga video 'Sosok Julhamadi, Polisi yang Mengabdikan Diri Jadi Guru Ponpes':

[Gambas:Video 20detik]



Selanjutnya, Rahasia Dita Lulus dengan IPK 4

Rahasia Dita Lulus S2 dengan IPK 4,00

Terkait rahasianya meraih IPK sempurna saat menyelesaikan S2, Dita mengaku karena kemauannya yang kuat. Pasalnya dia menyandang label mahasiswa S2 dari beasiswa LPDP yang mendapat stigma selalu lebih hebat dari mahasiswa biasa.

"Kalau S2 tuntutannya harus publish artikel ilmiah dan tidak di sembarang jurnal karena ada kriterianya. Apalagi penyandang beasiswa dapat stigma keren nih, jadi seperti tuntutan. Masak anak LPDP kok hanya begitu, nah itu juga yang membakar semangat kami untuk lebih dari yang lainnya," ucapnya.

Selain hal tersebut, Dita juga mengaku perfeksionis, sangat kompetitif dan rajin membaca. Namun, Dita mengaku sempat kesusahan mengembalikan niat belajarnya kembali saat mendapatkan beasiswa S2.

"Kalau balik lagi ke pribadi perfeksionis dan dasarnya saya juga pribadi yang kompetitif. Ya yang penting publikasi itu dan rajin membaca," katanya.

"Apalagi saya tidak fresh graduate (baru lulus S1 langsung S2) dan ada jeda. Di jeda semangat belajar saya drop, tidak se-menggelora saat masuk lagi. Terus saat masuk lagi saya tekati harus disiplin baca hasil penelitian," imbuh Dita.

Dita mengungkapkan, bahwa berhasil menyelesaikan S2 dengan tesis terkait research and development. Di mana Dita mengembangkan perangkat pembelajaran Silabus RPP dengan lembar kerja siswa.

Menyoal rencana melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi, perempuan 25 tahun ini mengaku ingin. Akan tetapi dia menunggu waktu yang tepat, karena saat ini kriteria untuk profesi yang dia cita-citakan semakin tinggi.

"Pingin sih (S3), karena saya cita-cita jadi dosen. Tapi kalau lulus S1 pertama kali lulus itu kan idealis sesuai jurusan, kerja sesuai jurusan. Seperti saya ini kan harusnya kalau S1 mengajar di SMP bukan di SD, tapi lowongan dapatnya SD ya sudahlah," ujarnya.

"Dan saat ini S2 tapi mengajari murid SD ya sudah realitasnya seperti itu. Tapi bukan saya tidak visioner lho, saya ingin jadi dosen tapi di waktu yang tepat. Karena tinggi ilmu kalau tanpa pengalaman kerja itu nol," lanjut Dita.

Terlepas dari hal tersebut, Dita ingin agar orang-orang yang terkendala biaya untuk melanjutkan agar tidak putus asa. Pasalnya Dita menilai kendala biaya bukan menjadi masalah selama memiliki kemauan yang kuat, dan Dita telah membuktikannya.

"Ekonomi jadi privilege atau hak istimewa orang tertentu (dalam menempuh jenjang pendidikan) memang iya, tapi jangan jadikan itu penghalang sih. Kalian bisa menginspirasi dengan kemauan, seperti saya cuma punya kemauan tapi tidak punya uang," ucap Dita.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads