Mengenal Qomarul Lailiah, Guru Bahasa Inggris yang Jadi Wasit Olimpiade Tokyo 2020

ADVERTISEMENT

Mengenal Qomarul Lailiah, Guru Bahasa Inggris yang Jadi Wasit Olimpiade Tokyo 2020

Trisna Wulandari - detikEdu
Minggu, 08 Agu 2021 12:00 WIB
Qomarul Lailiah atau Lia, guru bahasa Inggris asal Surabaya yang menjadi Wasit Olimpiade 2020 Tokyo cabor bulu tangkis
Foto: Foto: Instagram @nadiemmakarim
Jakarta -

Guru Bahasa Inggris Qomarul Lailiah menjadi wasit tingkat internasional di cabor bulu tangkis Olimpiade Tokyo 2020 . Guru SDN Sawunggaling I/382 Surabaya ini menjadi perempuan satu-satunya di Indonesia yang tersertifikasi sebagai wasit tingkat dunia dari Badminton World Federation (BWF).


Padahal, tuturnya, ia semula tidak berniat menjadi wasit. Ia bahkan juga tidak berniat menjadi guru. Bagaimana kisahnya berkarier sebagai guru dan wasit internasional?


Perempuan yang akrab disapa Lia ini menuturkan, ia semula ingin jadi berkarier di bidang hubungan masyarakat. Ia lalu menempuh pendidikan di prodi Sastra Inggris Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra (STIBA) Satya Widya, Surabaya pada tahun 2000.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Berbekal nasihat gurunya, kata Lia, ia mencoba belajar efektif dengan mengajarkan hal yang sudah dipelajari di bangku kuliah ke adiknya. Lebih jauh, ia mencoba menjadi guru honorer di sebuah SD di belakang rumahnya. Ia juga mengambil akta mengajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada 2005.


"Kepala sekolah sarankan ambil akta mengajar, meneruskan jadi guru. Ternyata menjadi guru enak sekali, menikmati sekali jadi guru. Menemukan passion di sini, ada tantangan agar anak cinta pelajaran, karena kalau sudah cinta, apa saja dilakukan, kan?" kata Lia dalam Instagram Live bersama Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek Iwan Syahril di akun @dirjen.gtk, Sabtu (8/8/2021).

ADVERTISEMENT


Lia menuturkan, pengalaman mengajarkan bahasa Inggris dari dasar pada siswa di sekolah memantapkannya menjadi guru SD. Ia mengatakan, anak yang senang belajar karenanya menjadi kebahagiaan tersendiri.


Terlepas dari itu, keinginan siswa untuk maju di tengah keterbatasan menurut Lia menjadi pendorongnya untuk terus menjadi pendidik di sekolah. Lia mengatakan, di sekolah ia banyak mengajar siswa dari perekonomian menengah ke bawah. Kepada salah satu siswanya yang seorang pengamen, tuturnya, ia pernah menyarankan siswanya yang seorang pengamen untuk belajar bahasa Inggris dengan bernyanyi.


"Saya bilang, mungkin dari (pendengar) awalnya mau kasih Rp500 malah jadi kasih Rp5.000. Eh ternyata benar dilakukan, mereka bernyanyi A-B-C bahasa Inggris begitu di jalan, saya lihat saat naik motor. Ini membuat terenyuh, melihat mereka sebetulnya ingin maju sekali," kata Lia.


Jadi Wasit


Lia menuturkan, perjalanannya menjadi wasit bermula saat menjadi guru honorer di SD belakang rumahnya. Di sana, ia bertemu seorang guru olahraga yang juga wasit tingkat provinsi di Jawa Timur.


Lia mengatakan, guru tersebut mengajaknya belajar menjadi wasit karena kepandaiannya berbahasa Inggris. Sebab, menurut guru tersebut, banyak wasit dengan ilmu perwasitan dan kepemimpinan kerap terhalang komunikasi bahasa internasional saat hendak naik tingkat menjadi wasit nasional.


"Saya bilang, saya nggak bisa main (badminton) bagus. Pegang raket saja nggak bisa. Beliau bilang, wasit perempuan sedikit di Indonesia. Sementara itu, ilmu perwasitan bisa dipelajari. Saya diberi bukunya. Terus terang, saya enggak baca karena tidak tertarik," kisah Lia.

Guru olahraga tersebut, kata Lia, lalu mengajaknya menjadi hakim garis saat mengajar kursus bulu tangkis. Dari situ, ia mulai akrab dengan dunia bulu tangkis hingga jadi wasit provinsi.


"Beliau bilang, anak kuliahan butuh tambahan uang buat jajan, nanti dapat uang kalau ikut turnamen (jadi hakim garis). Dari situ, koordinator wasit ikutkan saya ke penataran, sampai lulus ujian wasit provinsi," kata Lia.

Halaman selanjutnya: wasit perempuan tingkat dunia


Wasit perempuan tingkat dunia


Lia menuturkan, perjalanan kariernya sebagai wasit beberapa kali terhenti saat hamil dan melahirkan dua buah hatinya. Terlepas dari kebahagiaannya jadi ibu, kata Lia, ia harus belajar menyiapkan mental lagi sebelum memimpin berbagai pertandingan.


"Untuk menyiapkan mental, saya bilang (ke teman) pengen diundang turnamen kecil, besar, porseni SD, apa saja," kata Lia.


Setelah lulus ujian nasional B sebagai wasit di tahun 2003, ia lulus di ujian nasional A di momen Indonesia Open dengan peringkat 3 besar. Sebagai informasi, berbeda dengan ujian nasional B, ujian nasional A mewajibkan wasit menguasai bahasa Inggris.


Ia mengatakan, dari situ ia diberi kesempatan untuk mengikuti sertifikasi wasit tingkat Asia dan lulus dengan peringkat 3 besar. "Peringkat 3 besar itu diraih perempuan semua. Saat itu bertepatan dengan bulu tangkis Asia sedang mencari wasit wanita untuk gender equality, 30 persen petugas harus perempuan," jelasnya.


Pada 2017, Lia mendapat sertifikasi wasit tingkat dunia dari BWF. Ia menuturkan, kebijakan gender equality turut membuatnya ditugaskan sebagai wasit di olimpiade tahun ini.


"Kaget juga sebetulnya dipanggil di olimpiade, karena baru 2017 lalu (tersertifikasi), seharusnya belum. Ternyata memenuhi gender equality. Bersyukur masih dipercaya di Asia, bahwa Indonesia masih dipercaya. Saya pikir itu rezeki, hehe," kata Lia.


Menjadi wasit yang baik


Lia mengatakan, antusiasme penonton dan pemain salah satunya mendorong dirinya untuk serius belajar dan menguasai ilmu perwasitan bulu tangkis. Menurut Lia, ilmu dan penjelasan yang logis turut membantu wasit memimpin jalannya pertandingan. Salah satunya dalam menghadapi pertanyaan dari pemain yang tengah bertanding.


"Enggak salah untuk protes, untuk mempertanyakan mempertanyakan kenapa (wasit) buat keputusan itu, menurut mereka tidak salah," kata Lia.


"Karena itu know by heart tentang Law of Badminton, tentang peraturannya sendiri, lalu tidak bias dan memihak, dan alert harus tinggi. Meleng sedikit, kasihan yang harusnya dapat satu poin. Dari awal olimpiade diingatkan, pemain menganggap setiap pertandingan sebagai final karena membela negara, tidak akan mengalah, mati-matian kejar satu poin," imbuhnya.


Lia menuturkan, semangat pantang menyerah para atlet Olimpiade harapnya bisa jadi inspirasi siswa dan guru.


"Karena saya dari Surabaya, saya sampaikan pada siswa, be the real Bonek. Tidak malu berusaha dan tidak malu gagal, insya Allah Tuhan beri jalan. Untuk guru, teman-teman berusaha sekali saat pandemi untuk menguasai teknologi. Kita bisa, berusaha bersama," kata Lia.


Gimana detikers, mau berkiprah di olimpiade juga seperti Lia?


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads