Penelitian terbaru Monash University menyingkap bagaimana kesenjangan gender dalam konteks pendidikan dapat semakin lebar diakibatkan aktivitas harian anak-anak, khususnya yang tinggal di permukiman informal di perkotaan Indonesia dan Fiji.
Riset ini turut mengungkap bagaimana anak-anak yang tinggal di konteks lokasi tersebut mengalokasikan waktu untuk aktivitas pendidikan, pekerjaan, dan bermain.
Anak laki-laki yang tinggal di komunitas kurang beruntung khususnya di banyak negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, masih tertinggal dalam prestasi pendidikan dibandingkan anak perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar 350-500 juta anak yang tinggal di permukiman informal dengan bahaya lingkungan, kriminalitas, dan kemiskinan yang mengintai.
Anak Laki-laki Tertinggal dari Perempuan di Negara Berpenghasilan Tinggi hingga Rendah
Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Review of Economics of the Household. Riset dipimpin oleh Dr Michelle Escobar dari Department of Economics di Melbourne University serta Associate Professor Nicole Black dari Centre for Health Economics di Monash University.
Penelitian tersebut juga merupakan bagian dari program Revitalising Informal Settlements and their Environments (RISE) yang dipimpin Monash University. Penelitian ini turut ditulis oleh Profesor David Johnston dari Centre for Health Economics di Monash University yang juga memimpin bidang kesejahteraan RISE.
Dr Escobar mengatakan, penelitian mereka memperlihatkan anak-anak yang tinggal di permukiman informal menghabiskan jauh lebih sedikit waktu untuk aktivitas pendidikan daripada yang sesuai anjuran sekolah.
Mereka juga mendapati anak laki-laki cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dibandingkan anak perempuan dalam mengikuti kegiatan sekolah dan menyelesaikan pekerjaan rumah.
Dr Escobar menyebut mewujudkan kesetaraan gender dan memperluas akses pendidikan untuk anak perempuan tetap menjadi prioritas utama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kendati begitu, seiring meningkatnya kesetaraan gender di tingkat pendaftaran sekolah dasar, maka timbul kekhawatiran baru soal tingginya ketertinggalan anak laki-laki dalam pendidikan di banyak negara.
"Kesenjangan gender dalam pendidikan kini terbalik. Anak laki-laki saat ini tertinggal dari anak perempuan dalam mencapai prestasi pendidikan di banyak negara berpenghasilan tinggi. Tren ini juga semakin terlihat di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk di Indonesia dan Fiji," jelas Dr Escobar, melalui keterangan tertulis Monash University, dikutip Senin (14/4/2025).
Anak Laki-laki Menghabiskan Waktu Kurang Produktif
Para peneliti memperoleh data dari dua survei yang berlangsung antara 2018 hingga 2021 terhadap lebih dari 1.400 anak berusia antara 5-15 tahun di 24 permukiman informal di Indonesia dan Fiji.
Para responden merupakan pengasuh utama anak-anak tersebut. Seluruh rumah tangga di setiap permukiman menjadi sampel untuk survei ini.
Informasi mengenai alokasi waktu belajar didapat melalui pertanyaan, "Dalam seminggu terakhir, berapa hari/jam/menit anak Anda melakukan kegiatan berikut ini?"
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud mencakup pergi ke sekolah, merawat anggota rumah tangga, mengambil atau membeli air, menonton televisi, bermain di luar rumah, mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, bekerja untuk memperoleh upah, dan bekerja untuk bisnis keluarga.
Sementara, Associate Professor Nicole Black mengatakan penelitian ini memperlihatkan anak-anak di permukiman informal menghabiskan rata-rata 28 jam per minggu untuk kegiatan pendidikan, termasuk masuk sekolah dan mengerjakan PR.
Ia menyebut anak laki-laki menghabiskan rata-rata sekitar 3 jam per minggu lebih sedikit untuk kegiatan pendidikan, daripada anak perempuan yang tinggal di permukiman yang sama.
Black menegaskan, perbedaan gender bukan berarti karena anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.
"Perbedaan gender bukan berarti karena anak laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja, sementara anak perempuan menghabiskan sekitar satu jam lebih banyak per minggu untuk melakukan pekerjaan tanpa upah dibandingkan anak laki-laki, seringkali untuk tugas-tugas pengasuhan," terangnya.
"Kami menemukan bahwa, bukannya menghabiskan waktu untuk kegiatan pendidikan, anak laki-laki di Indonesia dan Fiji lebih sering bermain di luar rumah. Perlu dicatat bahwa di permukiman informal, bermain di luar rumah meningkatkan risiko anak terpapar bahaya kesehatan lingkungan," lanjutnya.
Black menuturkan, secara keseluruhan hasil penelitian ini memperlihatkan anak laki-laki kerap menghabiskan waktu untuk kegiatan kurang produktif dan lebih berisiko, daripada anak perempuan yang bermukim di wilayah yang sama.
Pola tersebut dapat meningkatkan konsekuensi akademik dan kehidupan di kemudian hari.
"Studi di lingkungan lain menunjukkan bahwa anak laki-laki yang tertinggal di sekolah lebih sulit mendapatkan prospek pekerjaan dan rentan terhadap risiko penyalahgunaan narkoba dan perilaku kriminal di masa depan," ujarnya.
Ia memaparkan, langkah penting pertama yang perlu dilakukan orang tua adalah meningkatkan kesadaran diri dan anak-anak mereka soal pentingnya mengalokasikan waktu untuk belajar. Inisiatif berbasis sekolah atau kegiatan komunitas seperti pendampingan dibutuhkan untuk mempersempit kesenjangan gender dalam investasi waktu pendidikan.
(nah/nwy)