Studi: Perempuan Butuh 15 Tahun Lebih Lama dari Laki-laki untuk Jadi Profesor

ADVERTISEMENT

Studi: Perempuan Butuh 15 Tahun Lebih Lama dari Laki-laki untuk Jadi Profesor

Nikita Rosa - detikEdu
Sabtu, 22 Jun 2024 15:00 WIB
Ilustrasi Kuliah
Perempuan Lebih Lama Menjadi Profesor Ketimbang Laki-laki. (Foto: Shutterstock)
Jakarta -

Studi terbaru dari Russell Group, asosiasi universitas riset di Inggris, menunjukkan bahwa perempuan membutuhkan waktu 15 tahun lebih lama dibandingkan laki-laki untuk menjadi profesor. Data ini didapat dari Badan Statistik Pendidikan Tinggi untuk universitas-universitas Russell Group dari angkatan 2004-2005 hingga 2019-2020.

Diterbitkan di Applied Economics, penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan membutuhkan waktu 8,5 tahun lebih lama dibandingkan rekan laki-laki mereka untuk mencapai status profesor madya. Kemudian diperlukan waktu 6,1 tahun lagi untuk mendapatkan jabatan profesor penuh.

Potensi Lebih Rendah untuk Menjadi Profesor Penuh

Peneliti perempuan di universitas-universitas Russell Group memiliki kemungkinan 6 persen lebih kecil untuk menjadi profesor penuh. Kemudian 4 persen lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi profesor madya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para peneliti perempuan juga cenderung bertahan pada tingkat gaji yang lebih rendah. Mereka bahkan lebih rentan meninggalkan sektor akademis.

Adapun penelitian ini menggunakan model teoritis yang dikembangkan oleh Profesor Richard Harris dari Universitas Durham bersama Mariluz Mate-Sanchez-Val dan Manuel Ruiz MarΓ­n dari Technical University of Cartagena di Spanyol.

ADVERTISEMENT

Diskriminasi dan Bias Budaya Jadi Penyebabnya

Para peneliti menemukan jika diskriminasi dan bias budaya dapat menyebabkan kesenjangan gender dalam promosi profesor. Profesor Harris mengatakan publikasi perempuan sering kali diabaikan dan diberi bobot lebih rendah dibandingkan publikasi laki-laki.

Tak hanya itu, peneliti juga menemukan peneliti perempuan harus menghadapi bias budaya karena tidak diberi waktu dan sumber daya yang sama untuk berinvestasi dalam karier mereka.

"Biaya investasi yang perlu Anda keluarkan untuk dapat mencapai jenjang karir untuk mendapatkan catatan publikasi yang kuat perempuan merasa lebih mahal untuk melakukan investasi tersebut, mahal dalam waktu, mahal dalam usaha," ujarnya dalam laman Times Higher Education dikutip Kamis (20/6/2024).

Harris menilai jika peneliti perempuan lebih diremehkan. Membuat mereka perlu membuktikan diri dua kali lebih keras.

"Mereka diremehkan, jadi ini seperti cerita kuno. Perempuan harus membuktikan diri dua kali untuk menunjukkan bahwa mereka sebaik laki-laki," jelasnya.

Salah Fokus Kampus

Studi ini juga menyoroti bahwa strategi kesetaraan, keberagaman dan inklusi atau EDI sering kali salah fokus. Kampus mementingkan perubahan perempuan dibandingkan penanganan isu-isu struktural.

"Dalam kebijakan EDI, Anda harus benar-benar mengubah budaya, mengakui fakta bahwa sistem tersebut bersifat bias dan diskriminatif," kata Harris.

"Kebijakan EDI di universitas perlu berupa perubahan budaya, bukan sistem promosi atau rekrutmen yang hanya mementingkan individu dan menghilangkan gender," sambungnya.

Sarankan Pengakuan Perbedaan Gender

Untuk meningkatkan kesetaraan gender, studi merekomendasikan untuk mengakui perbedaan gender dalam tingkat publikasi dan keberhasilan hibah penelitian, yang merugikan perempuan dalam pengajuan promosi.

Hal ini juga menyerukan universitas-universitas di Inggris untuk menekankan pentingnya budaya organisasi, praktik evaluasi dan prosedur kelembagaan ketika merekrut dan mempromosikan baik pada peneliti laki-laki maupun perempuan.




(nir/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads