Populasi manusia berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hewan. Menurut data yang dimiliki oleh United Nation, penduduk manusia di bumi pada pertengahan November 2022 telah mencapai angka 8,0 miliar.
Selama berabad-abad ilmuwan telah memperdebatkan pertanyaan "Apa yang istimewa tentang spesies kita?"
Kini seorang ilmuwan dari Arona State University memiliki sebuah hipotesis baru yang dapat mengubah cara kita memandang diri sendiri dan dunia di sekitar kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Thomas Morgan, seorang antropolog evolusi menyatakan, "Sepuluh tahun yang lalu banyak yang beranggapan bahwa budaya manusia yang berkembang dan berevolusi adalah faktor yang membuat kita istimewa. Namun, berdasarkan penelitian terbaru tentang perilaku hewan gagasan ini kini tidak relevan lagi dan memaksa kita untuk memikirkan kembali apa yang benar-benar membuat budaya dan spesies kita unik."
Sama seperti manusia yang mewariskan pengetahuan kepada keturunannya, ratu semut pemotong daun menetas akan mengumpulkan sedikit jamur dari induknya dan membawanya ke koloni baru. Hal ini telah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu. Sehingga jamur di dalam koloni ini secara genetik berbeda dari jamur liar di luar koloni.
Mirip dengan bahasa manusia yang terus berubah, data baru menunjukkan bahwa nyanyian paus bungkuk terus berevolusi antarkelompok dan semakin kompleks dari waktu ke waktu. Seperti manusia, simpanse juga belajar menggunakan alat sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu.
Bahkan belalang menggunakan sistem evolusi yang kompleks untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mereka mengandalkan perubahan epigenetik, yaitu berbagai faktor seperti usia dan lingkungan yang dapat memengaruhi aktivitas gen tanpa mengubah urutan DNA itu sendiri. Dengan cara ini, belalang dapat berevolusi dengan cepat, berubah dari bentuk yang tenang dan hijau menjadi berkerumun dengan warna kuning dan hitam.
Penemuan-penemuan ini menunjukkan bahwa hewan juga memiliki budaya yang selama ini diyakini hanya dimiliki oleh manusia.
"Dulu orang mengira bahwa spesies lain tidak memiliki budaya," kata Morgan.
"Dan sekarang kita tahu bahwa banyak spesies lain yang memilikinya. Dulu orang mengira bahwa hanya budaya manusia yang terakumulasi atau berevolusi seiring waktu. Namun sekarang kita tahu bahwa budaya hewan juga dapat melakukan hal ini. Jadi, jika hewan memang memiliki budaya yang berevolusi, lalu apa yang istimewa dari budaya manusia yang membedakan kita dari hewan lain?"
Alasan Mengapa Populasi Manusia Lebih Banyak
Profesor Morgan dan Marcus Feldman dari Universitas Stanford membahas pertanyaan ini dalam makalah mereka, "Human culture is uniquely open-ended not uniquely cumulative" dan diterbitkan dalam jurnal Nature Human Behaviour.
Mereka memiliki hipotesis baru, bahwa manusia dapat mendominasi dan begitu istimewa karena faktor "keterbukaan". Keterbukaan diartikan sebagai kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan memahami kemungkinan yang tak terbatas jumlahnya dalam hidup.
"Cara hewan berpikir tentang apa yang mereka lakukan membatasi cara budaya mereka berevolusi," kata Morgan.
"Salah satu kelemahan mereka tidak dapat membayangkan urutan yang rumit dengan mudah, atau mereka tidak dapat membayangkan sub tujuan."
"Contohnya, saat saya menyiapkan sarapan untuk anak-anak saya di pagi hari, prosesnya bertingkat dan bertahap. Pertama, saya perlu menyiapkan mangkuk, panci, dan peralatan lainnya. Kemudian, saya perlu memasukkan bahan-bahan ke dalam panci dan mulai memasak, semuanya dalam jumlah dan urutan yang tepat. Kemudian, saya perlu memasaknya, mengaduknya, dan memantau suhunya hingga mencapai kekentalan yang tepat, lalu saya perlu menyajikannya," katanya.
"Masing-masing langkah ini merupakan subtujuan, dan subtujuan ini memiliki langkah-langkah di dalamnya yang perlu saya jalankan dalam urutan yang tepat, jadi keseluruhan hal ini merupakan prosedur yang rumit."
Jika dibandingkan dengan hewan, otak manusia mampu mengingat rangkaian instruksi yang sangat rumit dan memungkinkan melakukan rangkaian aktivitas yang tidak terbatas. Inilah yang disebut keterbukaan.
Sebelumnya, ilmuwan lain telah membandingkan budaya manusia dan hewan. Sedangkan, penelitian Morgan dan Feldman tidak hanya membandingkan budaya hewan dan manusia, tetapi juga pewaris epigenetik dan efek parental. Semut pemotong daun adalah contoh efek parental dan belalang adalah contoh pewaris epigenetik kumulatif.
Meskipun pewarisan epigenetik merupakan dari pengaruh orang tua bersifat stabil dan terakumulasi pada spesies nonmanusia, keduanya pada akhirnya berhenti berkembang, jelas Morgan.
"Sama seperti budaya hewan, ada kendala yang dihadapi sistem ini dan yang menghentikan evolusinya."
"Saya pikir pertanyaan kuncinya adalah apa yang istimewa tentang budaya manusia, dan kami mencoba menjawabnya dengan membandingkan budaya manusia dengan budaya hewan, dengan epigenetika, dan dengan pengaruh orangtua-sebanyak sistem yang berevolusi yang dapat kami pikirkan. Dan pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa hal istimewa tentang budaya manusia adalah sifatnya yang terbuka. Budaya dapat terakumulasi tetapi tidak pernah harus berhenti, budaya terus berlanjut," terangnya.
(nah/nah)