Kisah Transformasi Museum Sonobudoyo Jogja, Dari Citra Kuno Sekarang Punya VR

ADVERTISEMENT

Kisah Transformasi Museum Sonobudoyo Jogja, Dari Citra Kuno Sekarang Punya VR

Baladan Hadza Firosya - detikEdu
Selasa, 26 Des 2023 08:00 WIB
Museum Sonobudoyo Jogja
Foto: Baladan Hadza Firosya/detikcom
Jakarta -

Museum Sonobudoyo di Yogyakarta telah mengadopsi berbagai teknologi terbaru misalnya realitas virtual (VR). Transformasi ini dilakukan dalam rangka mengikuti tren dan menarik minat generasi muda.

Kepala Subbag Tata Usaha Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Titik Fatmadewi mengatakan pengembangan ini dilakukan karena adanya citra di masyarakat yang masih menganggap bahwa museum adalah tempat yang angker. Jadi Museum Sonobudoyo berupaya mengemas tempat ini menjadi seperti mall yang ramai dikunjungi.

"Jadi yang selama ini masyarakat luas itu mungkin mulai dari pelajar atau dari berbagai segmen dari yang muda sampai yang tua, pelajar, komunitas dan sebagainya, bahwa anggapan mereka itu Museum Sonobudoyo adalah tempat yang gelap, kotor, kemudian benda-benda kuno yang dipajang di situ, mungkin ada yang menganggap sebagian masyarakat juga seperti kalau orang Jawa bilang angker," tutur Titik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nah, kemudian Sonobudoyo ini membuat konsep ya, Kepala Museum dan Pimpinan di Museum Sonobudoyo ini mengemas bagaimana museum itu menjadi tempat yang menyenangkan. Kemudian bisa sebagai edukasi juga (untuk) pelajar dan dibuat layaknya seperti mall," lanjutnya.

Pergantian Vendor: Tahap Realisasi Teknologi di Sonobudoyo

Titik menjelaskan dalam proses penerapan teknologi sebelumnya sempat terjadi pergantian vendor karena adanya kesenjangan dalam kemampuan menampilkan animasi yang diperlukan oleh museum.

ADVERTISEMENT

"Sebenarnya perencanaannya itu di tahun 2022. Kan ini sistemnya lelang ya, jadi bekerja sama dengan vendor. Nah itu sudah ada pemenangnya, tapi ternyata di dalam perjalanan pembuatan VR-nya itu Pak Kepala Museum itu tidak puas dengan hasilnya, tidak sesuai ekspektasi, jadi tidak sesuai harapan, kurang bagus kualitasnya. Kemudian kita putus kontrak enggak, Sonobudoyo tidak mau melanjutkan bekerja sama dengan vendor itu," papar Titik.

"Misalnya, jadi kalau bikin animasi ya animasi itu kayak cerita ini penyerangan Batavia kan ada di sana itu kan apa halus gitu ya misal bentuk orangnya itu ya mirip orang bener kayak realistis bener ya hampirlah tapi kan nggak 100%. Tapi kalau yang itu kartun kayak kaku gitu loh jadi pembuatannya tidak tidak apa ya, gerakannya itu kaku," ungkapnya.

"Jadi mungkin bikin hidung dan mata itu enggak sama. Bentuk-bentuk-bentuk visualnya misalnya bikin-bikin kayak film Lion King itu kan kayak beneran ya, kayak macam beneran. Nah kalau yang dulu itu ya bikin macan itu mau jadi kayak kucing, misalnya," kata Titik.

Hal tersebut dinilai sebagai bagian krusial dalam upaya mewujudkan sebuah tempat pendidikan budaya yang interaktif. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, pihak museum memutuskan kontrak dengan vendor sebelumnya dan berhasil menemukan vendor baru yang dapat memenuhi ekspektasi mereka.

Vendor yang berkontribusi dalam merealisasikan teknologi ini merupakan vendor yang berasal dari dalam negeri. Pemilihan ini pun sesuai dengan arahan dari Presiden untuk menggunakan produk dalam negeri.

Pengaruh Teknologi dalam Peningkatan Jumlah Pengunjung

Kepala Subbag Tata Usaha Museum Sonobudoyo ini pun kembali memaparkan bahwa sebelumnya museum memang banyak diminati dari berbagai kalanga, terutama dari kalangan pelajar.

"Kalau yang di dalam lingkup DIY itu anak PAUD bahkan paut TK itu juga banyak. Rombongan-rombongan SD, SMP, SMA sekali datang itu ada yang 100 orang, 150, 200 (sampai) 350 orang untuk belajar sejarah. Rata-rata semua-semua daerah di Indonesia itu nyebar, jadi nggak ada yang misalnya (semuanya) dari Jawa Barat, itu enggak," ujar Titik.

"Pelajar-pelajar DIY (dan) pelajar atau mahasiswa se-Indonesia, dari Bandung, dari dari Jawa Timur, dari universitas-universitas. (Seperti) UIN, ada UMY, UNY, pokoknya se-fakultas swasta dan negeri se-indonesia," imbuhnya.

Selain itu, tidak hanya masyarakat atau pelajar dari dalam Pulau Jawa saja yang berdatangan ke Museum Sonobudoyo. Namun, pengunjung cukup bervariasi, bahkan dapat dikatakan seluruh Indonesia.

"Kalau untuk study tour dari luar pulau Jawa (seperti) dari Kalimantan, dari Kalimantan itu udah beberapa kali. Bahkan pernah itu dari Bank Indonesia yang di Kalimantan Perwakilan Kalimantan. (Lalu ada dari) Sumatera, Papua," kata dia.

"Tiap hari itu sampai antrenya itu mengulang kayak di Gacoan, jadi tiket-tiket itu beli tiketnya itu sampai mengantre, penasaran mungkin ya," tambah Titik.

Lalu, dengan pengalaman yang diperkaya oleh teknologi VR, antusiasme terhadap museum ini pun semakin meningkat secara signifikan.

"Jadi, sebelum (teknologi) virtual pun sudah banyak pengunjung. Tiap hari itu rata-rata itu 1000 lebih pengunjungnya. dengan dibukanya yang virtual ini semakin banyak peminatnya bahkan dari luar daerah itu banyak sekali," ujar Titik.

Sosial media dinilai berperan penting dalam meningkatnya jumlah pengunjung semenjak peresmian Wahana Interaksi di gedung baru Sonobudoyo.

"Banyak juga mereka-mereka itu kan kita punya medsos, punya IG, punya Twitter, Facebook dan sebagainya. Mereka mungkin bisa melihat mengakses dari IG dan sebagainya itu informasi kita kan selalu intens setiap hari menginformasi terkait dengan kegiatan di Sonobudoyo," terangnya.

"Harapan Museum Sonobudoyo untuk masyarakat luas itu lebih mengenal budaya, khususnya budaya Jawa ya nama kita ini di Jawa, tetapi kan koleksi-koleksi yang ada di Museum Sonobudoyo ini adalah dulu peninggalan Java Institute ya," pungkas Titik.




(nah/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads