Soal Citayam Fashion Week Dipandang Negatif, Ini Kata Pakar Unpad

ADVERTISEMENT

Soal Citayam Fashion Week Dipandang Negatif, Ini Kata Pakar Unpad

Devi Setya - detikEdu
Rabu, 27 Jul 2022 13:00 WIB
Citayam Fashion Week malam ini
Ilustrasi Citayam Fashion Week Foto: Hanafi/detikcom
Jakarta -

Semakin hari kawasan Dukuh Atas Sudirman semakin ramai dipenuhi anak muda yang punya dandanan nyentrik. Hingga akhirnya muncul istilah Citayam Fashion Week yang kemudian menuai pro dan kontra dari masyarakat.

Citayam Fashion Week terkonsep begitu saja karena kawasan ini dipenuhi remaja yang mengenakan pakaian unik layaknya model papan atas. Terlebih lagi mereka kerap melintas di zebra cross yang dianggap sebagai area show.

Menanggapi fenomena ini, banyak masyarakat yang menilai tren ini sebagai ajang representasi kreativitas anak muda. Namun tak sedikit pula yang menganggap ramainya kawasan ini sebagai kegiatan negatif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena Citayam Fashion Week

Belum lama ini Citayam Fashion Week juga didaftarkan untuk mendapatkan hak paten oleh seorang publik figur. Meskipun rencana ini urung dilakukan namun sebenarnya ada hal baik yang bisa dimanfaatkan dengan cara yang tepat.

Menanggapi hal ini, Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) yang juga pegiat industri kreatif Dr. Dwi Purnomo, M.T., menjelaskan bahwa Citayam Fashion Week sebenarnya bisa menjadi wadah kreativitas anak muda asalkan dikemas dengan baik.

ADVERTISEMENT

Dilansir dari situs resmi Unpad (27/7) Dwi menjelaskan, terlepas kontroversinya, kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Namun kolaborasi dilakukan sebaiknya bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

"Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya," kata Dwi.

Lebih lanjut, Dwi mengatakan fenomena Citayam Fashion Week ini sebaiknya bisa dimanfaatkan sebagai momentum agar tidak lenyap dan hilang begitu saja. Salah satu caranya dengan mengandalkan berbagai platform digital.

Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga kebelanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.

"Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang," terangnya.

Dimanfaatkan bukan hanya untuk tujuan uang

Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung ini menjelaskan, pada era digital seperti sekarang ini, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan.

Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan. "Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan," kata Dwi.

Citayam Fashion Week dinilai negatif

Dalam kesempatan yang sama, Dwi mengkritisi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week. Penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut.

"Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental," paparnya.

Deputi Pengembangan Bisnis Kawasan Sains dan Teknologi Padjadjaran tersebut memaparkan, analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono.

Melalui model tersebut, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif. Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi.

Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.

Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan bahwa cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.

"Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju," pungkasnya.




(dvs/lus)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads