Jakarta -
Baru-baru ini, disebut bahwa Stasiun Manggarai akan menggantikan Stasiun Gambir sebagai stasiun sentral. Stasiun Manggarai nantinya melayani beragam layanan kereta, termasuk kereta api jarak jauh.
Saat ini, Stasiun Manggarai menjadi stasiun dengan lalu lintas kereta api tersibuk di Indonesia. Stasiun ini melayani perhentian KRL Commuter Line tujuan Jakarta Kota, Bogor, Tanah Abang, dan Bekasi.
Stasiun Manggarai juga ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan nomor registrasi RNCB.19990112.04.000470 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/05, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 011/M/1999 dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memiliki nilai historis, bagaimana sejarah Stasiun Manggarai?
Sejarah Stasiun Manggarai
Stasiun Manggarai didirikan di wilayah Manggarai Batavia (Jakarta). Sudah ada sejak abad ke-17, wilayah ini awalnya merupakan tempat tinggal dan pasar budak asal Manggarai, Flores, kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan.
Dilansir dari laman Heritage Kereta Api Indonesia (KAI), kereta api yang melintasi wilayah ini awalnya dibangun oleh perusahaan swasta Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) dengan lintas Jakarta-Buitenzorg (Bogor). Sebagai tempat pemberhentian dibangun Stasiun Bukitduri (kini depo KRL).
Pada tahun 1913, perusahaan kereta api Negara, Staatssporwegen (SS), menguasai jaringan kereta api di Jakarta setelah membeli jalur Jakarta-Bekasi milik Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) tahun 1899 dan Jakarta-Bogor milik NISM tahun 1913.
Setelahnya, SS melakukan penataan ulang jalur kereta api di Jakarta, salah satunya adalah pembongkaran Stasiun Boekitdoeri eks-NISM dan membangun Stasiun Manggarai.
Pembangunan Stasiun Manggarai dimulai tahun 1914 yang dipimpin oleh arsitek Belanda bernama Ir. J. Van Gendt. Selain stasiun, dibangun pula balai yasa dan rumah-rumah dinas pegawai SS.
Akhirnya pada 1 Mei 1918, Stasiun Manggarai diresmikan. Sebenarnya pada waktu peresmian stasiun ini masih jauh dari selesai, karena sang arsitek, Van Gendt, merancang tiang peron berbahan baja.
Namun karena Perang Dunia I baru saja dimulai, pasokan baja dari eropa tidak datang sehingga digunakan kayu jati sebagai pengganti tiang peron.
Bertepatan ulang tahun ke-50 SS, perusahaan ini mengoperasikan kereta listrik pertama kali dengan lintas Jakarta-Tanjung Priuk. SS melanjutkan proyek elektrifikasi sampai Stasiun Manggarai yang rampung pada 1 Mei 1927.
Selanjutnya situasi Stasiun Manggarai saat dikuasai Jepang >>>
Dikuasai Jepang
 Stasiun Manggarai juga dikuasai Jepang saat Belanda menyerah pada 1942. Foto: KITLV |
Pada Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Hal ini menandai dimulainya pendudukan Jepang di Indonesia. Di bawah kendali Jepang, Stasiun Manggarai yang saat itu memiliki bengkel yang maju, tidak hanya melayani kebutuhan kereta api melainkan juga memenuhi keperluan tentara Jepang.
Mengingat Bengkel Manggara memiliki peralatan dan mesin yang paling lengkap maka bengkel ini dipimpin oleh seorang perwira bernama Kinoshita dengan wakilnya Harada.
Guna memenuhi kebutuhan pegawai, Jepang membuka Shookooin Yoseiko (calon tukang/teknisi) di Bengkel Manggarai pertengahan tahun 1943. Sekolah tersebut dilengkapi dengan asrama yang dapat menampung sekitar 200 siswa. Lama pelatihan dilaksanakan selama enam bulan.
Para pemuda kereta api di Bengkel Manggarai diwajibkan pula mengikuti kegiatan Seinendan (barisan pemuda). Anggota Seinenden Bengkel Manggarai sendiri berkisar 400-450 orang.
Selama di bawah pengelolaan Jepang, Bengkel Manggarai sempat membuat lokomotif. Pembuatan dipimpin oleh ahli-ahli dari bangsa Jepang yang sebagian besar dilakukan oleh pegawai orang Indonesia. Mesin yang digunakan berasal dari mesin diesel pabrikan Mercedes.
Lokomotif tersebut sempat pula diuji coba jalan dari Manggarai ke Tanah Abang. Hasilnya pun memuaskan. Lebih lanjut, dilakukan percobaan jalan Manggarai-Bogor.
Namun pada tahun 1943, Jepang mulai memindahkan beberapa bagian Bengkel Manggarai serta mesin-mesinnya ke berbagai daerah. Hal ini dilakukan guna mengamankan kedudukan Jepang dari pasukan sekutu.
Bagian instrumen dan perkakas dipindahkan ke bekas pabrik es di daerah Pegangsaan Timur, Sebagian bagian bubutan dimutasi ke bengkel milik perusahaan trem di Kalipasir, bagian kereta digeser ke bangunan pabrik gula di wilayah Arjawinangun, dan sebuah los lengkap dari bagian kereta dipindahkan ke Nagreg.
Selanjutnya kisah Stasiun Manggarai jadi saksi pemindahan ibu kota darurat >>>
Saksi Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta
 Pemindahan ibu kota darurat menggunakan kereta api secara sembunyi-sembunyi. Foto: KITLV |
Pada detikcom beberapa waktu lalu, sejarawan Rushdy Hoesein menuturkan saat usul memindahkan ibu kota ke Yogyakarta disetujui pada 3 Januari 1946 malam, Sukarno berpesan agar para pejabat negara yang ikut tidak membawa bekal apa pun.
Namun transportasi apa yang digunakan belum disepakati. Sebab, jika rencana ini bocor dan diketahui NICA, seluruh pejabat negara mungkin akan disergap dan dibunuh.
Akhirnya Kepala Eksploitasi Barat, Sugandi, dipanggil Bung Karno. Bung Karno, kata Rushdy, meminta Sugandi mempersiapkan sebuah perjalanan paling bersejarah.
Setelah berdiskusi, diputuskan perjalanan tersebut menggunakan ular besi alias kereta api. Esok harinya, Sugandi bersama kawan-kawannya dari unit Balai Jasa Manggarai menyiapkan delapan gerbong khusus.
"Para pegawai kereta api dikenal sigap membantu perjuangan dalam masa revolusi," ujar penulis buku Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati yang diterbitkan Gramedia pada 2014 itu.
Untuk memuluskan perjalanan, depo lokomotif Stasiun Jatinegara menyiapkan lokomotif C28-49. Lokomotif buatan Jerman ini merupakan yang terbaik pada masa itu.
Mampu melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Djawatan Kereta Api juga diminta menyiapkan dua gerbong kereta khusus, yaitu KA IL7 dan IL8, untuk Presiden dan Wakil Presiden bersama keluarganya. Kelak gerbong khusus itu berganti nama menjadi Kereta Luar Biasa (KLB).
Tepat 3 Januari, para pegawai kereta api mulai mengelabui sejumlah tentara Belanda yang berjaga dekat Stasiun Manggarai. Sejak siang hari, mereka melangsir beberapa kereta.
Pada pukul enam sore, lokomotif C28-49 dengan masinis Hoesein, yang dibantu oleh stoker (juru api) Moertado dan Soead, bergerak dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Manggarai.
"Gerbong-gerbong yang sebelumnya ada di jalur tiga lalu dipindah ke jalur lima untuk mengelabui tentara Belanda," kata Rushdy.
Setelah lokomotif dan gerbong menyatu, kereta pun berjalan mundur dari Stasiun Manggarai menuju jalur arah Stasiun Cikini. Semua lampu gerbong dimatikan dan jendelanya ditutup.
Kereta lalu berhenti di dekat rumah Presiden Sukarno. Sukarno, Hatta, dan sejumlah menteri yang sudah menunggu kemudian mengendap-endap menuju gerbong.
Ikut diangkut kereta itu, dua buah mobil kepresidenan Buick 7-seat bercat hitam dan De Soto bercat kuning. "Tidak ada yang boleh bersuara saat itu. Semua dilakukan secara hati-hati. Bahkan menyalakan rokok saja tidak boleh," ujar Rushdy.
Perjalanan pun dimulai. Kereta pembawa rombongan ini berjalan lambat. Kecepatan awalnya hanya 5 km/jam. Setelah melewati Stasiun Jatinegara, kecepatan mulai ditambah. Lampu akhirnya dihidupkan ketika rombongan sudah melalui Stasiun Bekasi.
Rombongan Presiden tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pada 4 Januari 1946 pagi, disambut Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Pakualam VII, dan rakyat Yogyakarta. Seusai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman, istana Sri Pakualam.