Saksi Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta
![]() |
Pada detikcom beberapa waktu lalu, sejarawan Rushdy Hoesein menuturkan saat usul memindahkan ibu kota ke Yogyakarta disetujui pada 3 Januari 1946 malam, Sukarno berpesan agar para pejabat negara yang ikut tidak membawa bekal apa pun.
Namun transportasi apa yang digunakan belum disepakati. Sebab, jika rencana ini bocor dan diketahui NICA, seluruh pejabat negara mungkin akan disergap dan dibunuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Kepala Eksploitasi Barat, Sugandi, dipanggil Bung Karno. Bung Karno, kata Rushdy, meminta Sugandi mempersiapkan sebuah perjalanan paling bersejarah.
Setelah berdiskusi, diputuskan perjalanan tersebut menggunakan ular besi alias kereta api. Esok harinya, Sugandi bersama kawan-kawannya dari unit Balai Jasa Manggarai menyiapkan delapan gerbong khusus.
"Para pegawai kereta api dikenal sigap membantu perjuangan dalam masa revolusi," ujar penulis buku Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati yang diterbitkan Gramedia pada 2014 itu.
Untuk memuluskan perjalanan, depo lokomotif Stasiun Jatinegara menyiapkan lokomotif C28-49. Lokomotif buatan Jerman ini merupakan yang terbaik pada masa itu.
Mampu melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Djawatan Kereta Api juga diminta menyiapkan dua gerbong kereta khusus, yaitu KA IL7 dan IL8, untuk Presiden dan Wakil Presiden bersama keluarganya. Kelak gerbong khusus itu berganti nama menjadi Kereta Luar Biasa (KLB).
Tepat 3 Januari, para pegawai kereta api mulai mengelabui sejumlah tentara Belanda yang berjaga dekat Stasiun Manggarai. Sejak siang hari, mereka melangsir beberapa kereta.
Pada pukul enam sore, lokomotif C28-49 dengan masinis Hoesein, yang dibantu oleh stoker (juru api) Moertado dan Soead, bergerak dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Manggarai.
"Gerbong-gerbong yang sebelumnya ada di jalur tiga lalu dipindah ke jalur lima untuk mengelabui tentara Belanda," kata Rushdy.
Setelah lokomotif dan gerbong menyatu, kereta pun berjalan mundur dari Stasiun Manggarai menuju jalur arah Stasiun Cikini. Semua lampu gerbong dimatikan dan jendelanya ditutup.
Kereta lalu berhenti di dekat rumah Presiden Sukarno. Sukarno, Hatta, dan sejumlah menteri yang sudah menunggu kemudian mengendap-endap menuju gerbong.
Ikut diangkut kereta itu, dua buah mobil kepresidenan Buick 7-seat bercat hitam dan De Soto bercat kuning. "Tidak ada yang boleh bersuara saat itu. Semua dilakukan secara hati-hati. Bahkan menyalakan rokok saja tidak boleh," ujar Rushdy.
Perjalanan pun dimulai. Kereta pembawa rombongan ini berjalan lambat. Kecepatan awalnya hanya 5 km/jam. Setelah melewati Stasiun Jatinegara, kecepatan mulai ditambah. Lampu akhirnya dihidupkan ketika rombongan sudah melalui Stasiun Bekasi.
Rombongan Presiden tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pada 4 Januari 1946 pagi, disambut Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Pakualam VII, dan rakyat Yogyakarta. Seusai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman, istana Sri Pakualam.
(pal/pal)