Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia mempunyai tradisi yang secara tidak sadar dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri, seperti budaya sungkeman, halal bihalal, dan berkirim kartu lebaran. Mungkin banyak yang belum tahu awal tradisi tersebut.
Asal-usul Singkat Tradisi Idul Fitri di Indonesia
Awal mula tradisi Idul Fitri di Indonesia diceritakan oleh seorang budayawan Dr. Umar Khayam seperti yang tertuang dalam buku tulisan Arif Yosodipuro berjudul Buku Pintar Khatib dan Khotbah. Menurutnya tradisi lebaran merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Pada saat itu, para ulama di Jawa menggabungkan kedua budaya tersebut guna menjaga kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Hingga akhirnya tradisi itu meluas ke seluruh wilayah di Indonesia, bahkan melibatkan berbagai pemeluk agama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukti dari penggabungan dua budaya Jawa dan Islam, bisa kita telusuri dari budaya Islam di dunia.
Sebagai contoh, setelah pelaksanaan sholat Idul Fitri, tidak ada tradisi berjabatan tangan secara bersama-sama untuk saling memaafkan di negara-negara Islam Timur Tengah dan Asia (di luar Indonesia). Berjabatan tangan secara sporadis yang dilakukan hanyalah sebagai simbol keakraban.
Sebab di dalam ajaran Islam, saling memaafkan itu dapat dilakukan kapan saja dan tidak harus dilakukan setelah ibadah puasa Ramadhan. Melainkan, seseorang yang berbuat salah harus segera meminta maaf.
Filosofi Tradisi Lebaran
1. Sungkem
Budaya Jawa mengenal sungkem kepada orang yang lebih tua sebagai sesuatu perbuatan yang terpuji dan tidak berarti sebuah kerendahan derajat.
Tujuan sungkem terbagi menjadi dua, yaitu sebagai lambang penghormatan dan sebagai permohonan maaf atau 'nyuwun ngapura'. Menurut Umar, kata 'ngapura' ini berasal dari serapan bahasa Arab, yakni 'ghafura'.
Berangkat dari situ lah, para ulama di Jawa hendak mewujudkan salah satu tujuan dari puasa Ramadhan, yaitu menghapus dosa-dosa di waktu yang lampau. Mereka berpendapat saat Hari Raya Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk saling meminta maaf kesalahan masing-masing secara bersamaan.
Sebagai informasi, Hari Raya Idul Fitri juga kerap kali disebut dengan hari Lebaran. Kata Lebaran ini memiliki dua maksud yaitu, puasa telah lebar (selesai) dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Klik halaman berikutnya
2. Halal Bihalal
Tradisi halal bihalal diduga berawal dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, seperti yang tertulis dalam sebuah sumber di sekitar Keraton Surakarta.
Setelah dilaksanakannya sholat Idul Fitri, demi mengefektifkan waktu, maka diadakan sebuah pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara bersamaan di balai istana.
Mereka semua dengan tertib melakukan sungkem dengan raja dan permaisuri. Hingga kemudian, kegiatan itu ditiru oleh para organisasi Islam dan dikenal dengan istilah halal bihalal.
Kegiatan halal bihalal ini bertujuan sebagai media silaturahim dan pertemuan dengan banyak orang dalam skala yang luas. Berkat efek positif yang tercipta, maka tradisi halal bihalal bisa masih dipraktikkan hingga sekarang.
3. Berkirim Kartu Lebaran
Selain halal bihalal, media untuk bersilaturahmi antar sesama dapat dilakukan melalui budaya berkirim kartu lebaran.
Budaya ini menjadi solusi bagi kerabat atau keluarga yang berhalangan untuk berkunjung atau bersilarurahim karena jarak dan waktu.
Kemajuan teknologi kini bahkan sudah mengubah kartu lebaran menjadi media elektronik dalam genggaman. Semakin memudahkan kita bertukar ucapan Idul Fitri dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat.
Misalnya, melalui aplikasi chatting atau pun media sosial, e-mail, dan SMS (short message service).
Kegiatan ini memiliki nilai dalam menjalin silaturahmi kepada sesama antara pengirim dan penerima meski terhalang oleh jarak.
Wah, menarik ya, detikers! tradisi-tradisi Idul Fitri di atas bahkan masih bertahan diterapkan hingga sekarang dan masih melekat dengan masyarakat Indonesia.
(nwy/nwy)