Hilal menjadi tanda berakhirnya bulan dalam penanggalan Islam untuk memasuki bulan baru. Biasanya, pengamatan hilal dilakukan untuk menentukan jatuhnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Penentuan hilal dipelajari dalam Ilmu Falak. Dalam Ilmu Falak, hilal merupakan bulan baru atau sabit pertama setelah ijtima'. Ijtima' merupakan konjungsi geosentris di mana posisi bumi dan bulan berada di bujur yang sama jika diamati dari bumi sesaat setelah matahari terbenam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari Jurnal Keislaman dan Kebudayaan (UNIVERSUM), menurut Imam Syaukani dalam kitabnya "Fathu al-Qadir al-Jami' Baina Fanni al-Riwayah wa al-Dirayah min Ilmi al-Tafsir" diterangkan bahwasanya (ةِ َّ الأهل ِ ) jamak dari (لﻼ ا ) yang artinya muncul setiap bulannya (bulan sabit) atau muncul setiap harinya (bulan sempurna).
Hilal muncul sebagai penentu perbedaan waktu dan alat untuk menentukan kapan waktu beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Imam Sayukani, hilal merupakan sebuah nama bulan yang muncul di setiap awal bulan dan akhir bulan.
Dijelaskan lebih lanjut dalam kitab Ibnu Manzur "Lisan 'Arab", arti hilal adalah permulaan bulan yang terlihat oleh manusia di awal bulan tersebut. Hilal muncul dalam dua malam di setiap bulan.
Dikutip dari Buku Saku Hisab Rukyat Kementerian Agama, umat Islam mempelajari benda langit seperti Matahari, Bulan, dan Bumi untuk keperluan praktek ibadah.
Para ulama berpendapat bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah harus didasarkan pada rukyah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya.
Apabila rukyah tidak berhasil dilihat karena hilal belum bisa dilihat atau adanya gangguan cuaca, maka penentuan awal bulan harus disempurnakan 30 hari (istikmal).
Rukyah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat (zanni) bahwa hilal telah muncul dan mungkin dapat dilihat.
(erd/erd)