Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan agung dalam syariat. Setiap tahunnya, jutaan kaum muslim dari seluruh dunia berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan ritual yang diwariskan sejak zaman Nabi Ibrahim. Di tengah semangat ini, sering muncul istilah yang memantik rasa ingin tahu, yaitu apa itu haji akbar dan apa bedanya dengan ibadah haji pada umumnya?
Pada musim haji 2025, perhatian terhadap istilah ini kembali mencuat. Dikutip dari NU Online, Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menyebut bahwa pelaksanaan haji tahun ini berpotensi menjadi haji akbar, karena puncak ibadah wuquf di Arafah diperkirakan jatuh pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah atau 6 Juni 2025.
Dalam pembukaan Manasik Haji Nasional 2025, Menag bahkan menyebut bahwa pahala haji akbar bisa mencapai 70 kali lipat dibanding haji biasa. Pernyataan ini sontak menimbulkan antusiasme sekaligus pertanyaan di kalangan calon jamaah, benarkah demikian secara dalil?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk memahami pengertian hingga dalilnya, mari kita simak penjelasan lebih lengkapnya berikut ini!
Apa Itu Haji Akbar?
Dikutip dari buku 1001 Soal Kehidupan tulisan Hamka dan M Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman tulisan M Quraish Shihab, istilah haji akbar muncul dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 3:
"Dan ini adalah satu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik..." (QS. At-Taubah: 3)
Dari ayat tersebut, para ulama menafsirkan bahwa haji akbar adalah ibadah haji dalam bentuknya yang utuh, berbeda dengan umrah yang sering disebut sebagai haji kecil (al-hajj al-ashghar). Tafsir Al-Qurthubi, Ath-Thabari, dan Ibnu Katsir mencatat bahwa sebagian ulama menyatakan hari haji akbar adalah hari wuquf di Arafah (9 Dzulhijjah), seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Sedangkan Imam Malik dan Imam Bukhari menegaskan bahwa yang dimaksud adalah Hari Nahar, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, ketika penyembelihan kurban dilakukan.
Imam Mujahid bahkan menyatakan seluruh hari dalam rangkaian haji disebut haji akbar. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Atha, bahwa selama ibadah haji disertai wuquf di Arafah dan rukun-rukun lainnya, maka itu layak disebut haji akbar. Perbedaan penafsiran ini mencerminkan keluasan pandangan dalam memahami istilah yang secara tekstual hanya sekali disebut dalam Al-Quran, tetapi maknanya kaya dalam praktiknya.
Sejarah Haji Akbar
Pemahaman yang mendalam tentang haji akbar tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat dalam Surah At-Taubah. Tahun ke-9 Hijriah adalah kali pertama kaum muslimin diizinkan menunaikan ibadah haji secara bebas dari campur tangan kaum musyrik.
Saat itu, Rasulullah SAW belum berhaji. Beliau mengutus Abu Bakar sebagai pemimpin rombongan haji, sementara Ali bin Abi Thalib ditugaskan menyampaikan permakluman bahwa kaum musyrik tidak lagi diizinkan melaksanakan haji atau melakukan thawaf dalam keadaan telanjang, sebagaimana tradisi jahiliah sebelumnya.
Hamka dalam buku 1001 Soal Kehidupan menegaskan bahwa inilah momen sejarah yang menjadi makna utama dari istilah haji akbar dalam QS At-Taubah: 3. Peristiwa ini bukan sekadar ritual ibadah, tetapi juga transformasi politik dan teologis. Mulai saat itu, tanah haram menjadi eksklusif untuk tauhid, bersih dari praktik kemusyrikan. Maka, 'akbar' di sini mencerminkan keagungan makna, bukan semata penanda hari tertentu.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, disebutkan bahwa Rasulullah menyebut Hari Nahar (10 Dzulhijjah) sebagai haji akbar. Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan dikuatkan oleh pernyataan sahabat lain, seperti Ali bin Abi Thalib dan Mughirah bin Syu'bah.
Bahkan saat Rasulullah melaksanakan haji wada' pada tahun ke-10 Hijriah, dan berkhutbah di atas unta pada Hari Nahar di Mina, beliau menyebut hari itu sebagai haji akbar. Ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah itu memang berkaitan erat dengan hari puncak pelaksanaan haji, yakni saat kurban dilaksanakan dan jumrah aqabah dilempar.
Menariknya, terdapat pula riwayat lain bahwa Rasulullah menyebut hari Arafah sebagai haji akbar. Riwayat ini mursal dan tidak sekuat yang pertama, tetapi tetap mencerminkan bahwa makna haji akbar tidak terikat hanya pada satu hari. Sebagian ulama tabiin seperti Hasan Al-Bashri pun menyebut bahwa haji akbar adalah peristiwa penting tahun ke-9 Hijriah ketika Abu Bakar menjadi amirul hajj.
Ada pula pendapat dari Sufyan Ats-Tsauri yang menyebut seluruh rangkaian haji sebagai yaum al-fath (hari kemenangan) atau haji akbar. Ini menunjukkan bahwa keagungan haji akbar tidak semata pada hitungan harinya, tetapi pada kekuatan spiritual, politik, dan peradaban yang dibawanya.
Kritik Terhadap Anggapan Haji Akbar dan Hari Jumat
Dalam masyarakat, berkembang anggapan bahwa haji yang dilaksanakan pada hari Jumat, khususnya wukuf di Arafah pada hari Jumat, merupakan haji akbar dalam pengertian paling istimewa. Bahkan ada yang menyebutnya sebanding dengan tujuh puluh kali haji lainnya.
Namun, M Quraish Shihab dalam buku M Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman menegaskan bahwa tidak ada dasar kuat yang mengaitkan haji akbar dengan hari Jumat. Hadits yang menyatakan keutamaan haji yang bertepatan dengan Jumat adalah dhaif, karena diriwayatkan oleh perawi yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Riwayat ini tidak bisa dijadikan pijakan hukum atau keyakinan keagamaan.
Hal senada ditegaskan olehHamka dalam buku 1001 Soal Kehidupan. Dalam penelusuran terhadap lebih dari 15 kitab tafsir dan sejumlah kitab hadits dari berbagai mazhab, tidak ditemukan satu pun riwayatshahih yang menyatakan bahwa haji pada hari Jumat menyamai tujuh puluh kali haji biasa. Wallahu a'lam bishawab.
Demikianlah penjelasan lengkap mengenai pengertian haji akbar, sejarah, serta anggapan yang keliru mengenai istilah tersebut. Semoga penjelasan di atas bermanfaat!
(par/par)