Jabariyah merupakan penganut paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa tanpa ada pilihan. Lebih jauh, aliran ini menganggap bahwa manusia seperti benda mati yang tidak memiliki daya dan upaya sedikitpun.
Menukil buku Pengantar Ilmu Kalam karya Casrameko, istilah Jabariyah berasal dari kata jabara yang artinya memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid juga dijelaskan nama Jabariyah mengandung makna mengharuskan melakukan sesuatu.
Dalam buku Teologi Islam Terapan karya M. Amin Syukur dikatakan bahwa, aliran Jabariyah adalah kebalikan dari Qadariyah, yaitu menyebutkan manusia tidak merdeka. Ia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa karena tahu segala sesuatunya telah ditentukan oleh qada dan qadar Allah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menukil buku Akidah Akhlak Untuk Madrasah Ibtidaiyah Kelas 11 oleh Toto Edidarmo, MA, Drs. Mulyadi, dan Miliki Aan, M.Ag., Jabariyah mendapat penolakan dari berbagai golongan dan ulama karena pendirian Jabariyah mengatakan bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar sedikitpun dapat menyebabkan manusia malas dan putus asa, tidak mau bekerja keras, bahkan hanya pasrah terhadap takdir.
Takwil yang berlebihan terhadap sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur'an membatasi pemahaman dari satu aspek saja. Padahal makna Al-Qur'an itu amat luas dan sempurna daripada yang mereka takwilkan.
Sejarah Awal Berkembangnya Paham Jabariyah
Kembali mengutip buku Pengantar Ilmu Kalam, paham Jabariyah pertama kali dikenalkan oleh Ja'd bin Dirham yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm hafwan tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jihmiyah dalam kalangan Murji'ah.
Jahm duduk sebagai sekretaris Suraih bin Al-Haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perkembangannya, Jabariyah tidak hanya dibawa oleh dua tokoh di atas, masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najir dan Ja'd bin Dirar.
Mengenai kemunculan paham Jabariyah, paham ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokuntural bangsa Arab. Beliau menggambarkan bangsa Arab yang memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah mencuatkan sikap pencerahan diri terhadap alam.
Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-Aliran Analisa Perbandingan, menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak dapat melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Mereka merasa diri mereka lemah dan tidak memiliki kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup dan akhirnya membawa mereka kepada paham Jabariyah.
Ajaran-Ajaran Jabariyah
Adapun Ajaran-Ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut buku Teologi Islam karya Mubaedi Sulaeman. Berikut pembagiannya:
1. Aliran Ekstrim
Salah satu tokohnya adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Pendapat Jahm bin Shofwan mengenai keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan dan melihat Tuhan di akhirat. Surga dan neraka tidak kekal, yang kekal hanya Allah.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang esktrim mengatakan bahwa manusia itu lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan. Tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari skenario dan kehendak Allah SWT.
2. Aliran Moderat
Ajaran Jabariyah yang moderat menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, baik yang positif maupun negatif, namun manusia tetap memiliki peran di dalamnya. Kekuatan yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia berfungsi untuk mewujudkan perbuatan tersebut.
Manusia tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang sepenuhnya dikendalikan oleh dalang, dan juga bukan pencipta perbuatannya sendiri. Sebaliknya, manusia menerima perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
Salah satu tokoh yang menganut pandangan ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar, yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan semua perbuatan manusia, namun manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan tersebut, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Doktrin Jabariyah
Cyril Glasse dalam bukunya Ensiklopedia Islam Ringkas menjabarkan tentang doktrin yang dibawa oleh aliran Jabariyah. Berikut adalah doktrinnya:
1. Menurut Jahm bin Ahwas, manusia dalam paham Jabariyah sangat lemah tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimiliki paham Qadariyah. Pendapat Jahm tentang konsep surga dan neraka, konsep Iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Iman dan ma'rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan oleh Murji'ah.
4. Kalam Tuhan adalah Makhluk. Allah Maha Suci dengan segala sifat dan keserupaan dengan Manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Wallahu a'lam.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI