Rumput liar dan alang-alang tampak menghijau di area Lombok City Center (LCC) di Gerimak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gedung yang digadang-gadang menjadi pusat perbelanjaan modern dan ikon ekonomi daerah itu kini terbengkalai sejak sempat beroperasi pada 2018.
Bangunan yang dirancang megah sebagai pusat aktivitas ekonomi itu kini dibiarkan kosong. Dinding-dindingnya mulai lapuk dengan atap yang menganga. Di beberapa sudut, coretan vandalisme menjadi ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap proyek tersebut.
detikBali sempat menelusuri gedung LCC yang terbengkalai itu pada Selasa (25/2/2025). Seorang pria berpakaian cokelat duduk di depan pintu utama sembari menyeruput segelas kopi. Pria yang mengaku sebagai sekuriti itu menolak menyebutkan identitasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa karyawan perusahaan outsourcing yang bertugas sebagai tukang bersih-bersih dan teknisi listrik juga tampak wara-wiri di gedung itu. Mereka mengecek kondisi alat penerang dan pendingin ruangan (AC) di gedung itu.
"Sekali seminggu AC-nya harus dinyalakan biar tetap hidup. Tetap dirawat, setiap hari ada orang kok di sini," ujar pria itu.
![]() |
Ia menjelaskan seorang pengusaha sempat menyewa gedung LCC tersebut dan membuka wahana rumah hantu drive thru. Namun, wahana rumah hantu pertama di Lombok itu tak bertahan lama.
"Disewa hanya satu bulan, tapi ramainya hanya satu minggu. Setelah itu tidak ada lagi," imbuhnya.
Sekuriti itu melarang detikBali untuk masuk dan mengambil gambar di dalam gedung LCC. Ia menegaskan pengunjung yang hendak meliput atau mengambil gambar di area gedung harus mengantongi izin dari pengelola gedung.
"Mohon maaf, tidak boleh ambil gambar di sini kalau belum ada izin dari kantor pusat," sambungnya.
Terbelit Kasus Korupsi
Mangkraknya pengelolaan gedung LCC tidak hanya menjadi masalah estetika. Gedung tersebut menjadi pusat perhatian di tengah kasus dugaan korupsi yang tengah berproses di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.
Kasus tersebut berawal dari kerja sama operasional (KSO) antara Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Patut Patuh Patju (Tripat) dengan PT Bliss Pembangunan Sejahtera, anak perusahaan dari Lippo Group. Kerja sama tersebut mencakup pemanfaatan lahan seluas 8,4 hektare milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Barat sebagai lokasi pembangunan LCC.
![]() |
Dalam perjanjian KSO itu, lahan seluas 4,8 hektare dijadikan agunan oleh PT Bliss ke PT Bank Sinarmas pada 2013dan menghasilkan pinjaman sebesar Rp 264 miliar. Namun, pelunasan pinjaman tersebut tidak memiliki batas waktu yang jelas dan hingga kini status kredit macet. Hal ini menimbulkan kerugian keuangan negara yang diperkirakan mencapai Rp 39 miliar lebih.
Kejati NTB telah menyita aset tersebut, termasuk gedung LCC dan lahan di sekitarnya. Penyitaan ini ditandai dengan pemasangan plang pemberitahuan oleh di depan gedung LCC pada Desember 2024 dan Januari 2025.
Sejauh ini, Kejati NTB telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi KSO pemanfaatan aset lahan pembangunan LCC. Ketiganya ialah mantan Direktur Utama (Dirut) PT Tripat Lombok Barat, Lalu Azril Sopandi; mantan Direktur PT Bliss Pembangunan Sejahtera, Isabel Tanihaha; dan bekas Bupati Lombok Barat yang juga mantan Komisaris Utama PT Tripat Zaini Arony. Zaini ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (24/2/2025).
Penyidik Kejati NTB Hasan Basri menjelaskan Zaini ditetapkan sebagai tersangka karena diduga kuat terlibat dalam KSO antara PT Tripat dan PT Bliss Pembangunan Sejahtera dalam pembangunan LCC. Zaini diduga berperan dalam proses awal kerja sama tersebut. Ia disebut sebagai pihak yang mengenalkan tersangka LS dengan PT Bliss Pembangunan Sejahtera pada Juni 2013.
"Beliau adalah mantan Komisaris Utama PT Tripat yang juga mantan Bupati Lombok Barat 2009-2014 dan 2014-2025. Kasusnya adalah kasus dugaan korupsi dalam KSO antara PT Tripat dengan PT Bliss Pembangunan Sejahtera tahun 2013," ujar Hasan, Senin.
![]() |
Selain itu, Zaini diduga aktif dalam beberapa pertemuan membahas rencana KSO. Ia juga menerbitkan surat persetujuan KSO dan menghadiri penandatanganan perjanjian kerja sama antara PT Tripat dan PT Bliss Pembangunan Sejahtera pada 8 November 2013 di Hotel Sentosa Senggigi.
Dalam kasus ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 39 miliar lebih. Zaini dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini telah diusut sejak 2020. Saat itu, mantan Direktur PT Tripat Lombok Barat, Lalu Azril Sopandi, dan mantan Manajer Keuangan PT Tripat, Abdurrazak, telah ditetapkan sebagai tersangka dan diadili.
Lalu Azril Sopandi divonis lima tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 891 juta dengan subsider dua tahun penjara. Sementara, Abdurrazak divonis empat tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 235 juta dengan subsider satu tahun penjara.
(iws/iws)