Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti menyusutnya lahan sawah dilindungi (LSD) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Lahan sawah di ibu kota provinsi itu semakin sempit akibat gempuran pembangunan perumahan.
Ahli Tindak Pidana Korupsi Madya Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Abdul Jalil Marzuki mewanti-wanti Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram agar menjaga jumlah LSD di wilayah tersebut dengan baik. Menurutnya, alih fungsi lahan pertanian dapat mengakibatkan sumber air menjadi semakin terbatas.
"Pemkot Mataram harus bisa melihat fakta di lapangan saat ini. KPK menyoroti adanya lahan yang menjadi kewenangan pusat, tetapi ada masyarakat masuk tanpa izin," kata Abdul, Jumat (4/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abdul mengingatkan Pemkot Mataram agar tidak kecolongan dalam melindungi LSD di wilayah itu. "Jangan sampai kecolongan dan LSD bisa berubah," ujarnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Mataram Lale Widiahning menjelaskan jumlah LSD di Mataram mencapai 509 hektare. Ia mengakui alih fungsi lahan pertanian sebagian besar untuk pembangunan perumahan dan perkantoran.
Menurut Lale, perubahan Peraturan Daerah (Perda) RTRW Mataram mengusulkan jumlah LSD dari 509 hektare menjadi 338 hektare. Menurutnya, revisi ini membahas mengenai kejelasan investasi pengembang perumahan yang telah menginvestasikan lahan di Mataram sebelum peraturan LSD terbit.
"Ini yang kami luruskan di Perda RTRW yang baru, RTRW kan ada di 2019, sementara untuk peraturan LSD dari pusat ada di tahun 2022. Selama perubahan perda ini, KPK tetap mengerahkan dan memfasilitasi, khususnya untuk rapat koordinasi dengan dewan," kata Lale, Jumat.
Menurut Lale, Perda RTRW tersebut ditargetkan bisa disahkan pada Agustus 2025. Ia memastikan pembahasan perda tersebut melalui berbagai tahapan, termasuk kajian akademis yang melibatkan perguruan tinggi di Mataram.
(iws/iws)