Masjid Sultan Muhammad Salahuddin menjadi bagian terpenting di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dari masa ke masa. Masjid ini menjadi representasi berlakunya syariat Islam dalam sistem pemerintahan Bima.
Masjid besar nan megah ini menjadi simbol kejayaan Islam di Bima. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah dan perkembangan Masjid Sultan Muhammad Salahuddin, selengkapnya seperti dirangkum detikBali dari berbagai sumber.
Masjid Sultan Muhammad Salahuddin beralamat di Jalan Sukarno Hatta Kampung Sigi, Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kabupaten Bima, NTB. Masjid berada di sisi barat berbatasan dengan kompleks makam sultan, keluarga, dan pejabat istana kesultanan Bima di masa lalu. Sisi timur masjid berbatasan dengan kantor dan permukiman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan, sebelah selatannya berbatasan dengan pemakaman umum dan pemukiman. Sebelah utaranya berbatasan dengan alun-alun Serasuba dan istana yang sekarang menjadi Museum Asi Mbojo.
Kemegahan masjid ini terletak pada paduan arsitektur bergaya Eropa dan lokal, yang kemudian dijadikan simbol masa kejayaan Islam di Bima. Sekaligus representasi politik dari para penguasa di masa itu, yaitu para sultan yang menerapkan hukum Islam di wilayah Bima.
Sejarah
Masjid berusia ratusan tahun ini dibangun Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah pada 16 Zulhijjah 1149 Hijriah atau 5 April 1737 Masehi. Saat ini, usianya sekitar 278 tahun. Masjid ini memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Bima dan sekitarnya.
Informasi mengenai pembangunan masjid terbaca pada skrip bertulisan emas di atas dasar merah serambi masjid, mulai dari pintu depan hingga ruang dalam pintu masuk. Berbunyi: "Hedjrat al-Nabi Salallahu alaihiwassalam saribou seratoes 49 enam belas hari boelan Dzoelhejah tatkala itu as- Sultan Abdul Kadim dan Wazir Ismail memboewat ini."
Pembangunan masjid belum sepenuhnya terselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Ia wafat pada 1773 sebelum masjid selesai. Pembangunan pun diteruskan Sultan Abdul Hamid dan selesai 1780. Hamid mengubah atas masjid tersebut menjadi bersusun tiga.
Masjid ini kemudian menjadi pusat kegiatan syiar agama Islam di Bima. Fungsi masjid kesultanan terus berlangsung hingga masa Sultan Muhammad Salahuddin. Pada 1943, masjid ini dibom habis oleh tentara sekutu.
Alhasil, informasi pembangunan masjid yang ada pada serambi masjid tidak dijumpai lagi dikarenakan kerusakan total. Selain itu, masjid ini hanya menyisakan mihrab akibat pengeboman saat Perang Dunia II. Kemudian, masjid ini dibangun ulang sesuai bentuk aslinya pada 1990.
Artikel ini ditulis oleh Nindy Tiara Hanandita peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(Ronatal Siahaan/irb)