Masjid Shiratal Mustaqiem di Jalan Pangeran Bendahara, Samarinda Seberang masih kokoh berdiri sejak dibangun pada 1881 silam. Setelah melewati 14 dekade masjid ini tak hanya sekadar tempat ibadah umat Islam, tapi juga menjelma menjadi ikon bangunan bersejarah Ibu Kota Kalimantan Timur.
Sekretaris Pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem, Ishak Ismail menerangkan bila masjid tersebut dibangun oleh Sayyid Abdurrahman Assegaf. Dia merupakan habib. Masih punya ikatan keturunan Nabi Muhammad dan berasal dari Hadramaut, Yaman kemudian siar ke Pontianak, Kalimantan Barat lalu hijrah ke Samarinda pada 1880.
"Pembangunan masjid dimulai setelah habib Abdurrahman siar Islam di Samarinda Seberang," terangnya kepada Detik Kalimantan pada Rabu (26/3/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata Ishak, saat itu Samarinda Seberang tak seperti sekarang. Warganya bebal. Maksiat dimulai dari judi, sabung ayam hingga mabuk-mabukkan terus berulang. Mulai dari pagi hingga malam. Demikian selalu berulang.
Itu sebab, Abdurrahman meniatkan membangun masjid. Dengan harapan penyakit masyarakat bisa berkurang di Samarinda Seberang. Rencana tersebut disetujui oleh Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman.
"Waktu itu Samarinda masih masuk Kesultanan Kutai Kartanegara. Pembangunan masjid dimulai pada 1881 dan makan waktu 10 tahun untuk selesai," terangnya.
Pendirian masjid ini juga dibantu oleh warga setempat yang mendukung niat sang habib. Dimulai dari peletakan empat tiang utama (sokoguru) yang berada di bagian tengah. Jenisnya ulin setinggi 7 meter. Seiring waktu, sejumlah tokoh masyarakat ikut memberikan bantuan kayu ulin.
Misalnya, Kapitan Jaya memberikan ulin dari Loa Haur sekarang kawasan Gunung Lipan, Petta Loloncong menyumbang ulin dari Gunung Salo Tireng sekarang Sungai Tiram, anak Sungai Dondang dan Usulonna memberikan ulin dari Karang Mumus.
"Sedangkan Pangeran Bendahara memberikan ulin dari Gunung Dondang Samboja. Sengaja dipilih dari daerah berbeda agar siar islam dan berdirinya masjid menyebar ke empat penjuru angin," sebutnya.
Ishak melanjutkan, keempat tiang utama masjid tersebut berdiameter 30-60 sentimeter dan hingga sekarang masih kukuh berdiri meski sudah berusia 134 tahun.
Masjid selesai dibangun pada pada 1891 atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriah. Kala itu, Sultan Aji Muhammad Sulaiman menjadi imam untuk pertama kalinya sekaligus meresmikan Masjid Shiratal Mustaqiem.
"Dari situ penyakit masyarakat yang ada di Samarinda Seberang perlahan-lahan berkurang seiring waktu," sebutnya.
Ikon Penting di Samarinda Seberang
Dari pengamatan detikKalimantan, masjid Shiratal Mustaqiem berdiri megah di kawasan strategis, tepat di depan Sungai Mahakam. Dengan luas bangunan mencapai 625 meter persegi dan area tanah seluas 4.000 meter persegi, masjid ini menjadi ikon penting di Kecamatan Samarinda Seberang.
Desain arsitektur Masjid Shiratal Mustaqiem mengusung gaya klasik khas Indonesia. Masjid ini dilengkapi teras di keempat sisinya, dengan pagar kayu ulin yang kokoh menghiasi area teras tersebut. Struktur bangunan masjid mengusung konsep atap tumpang, yang merupakan ciri khas arsitektur tradisional pada masanya.
Warna kuning dan hijau yang mendominasi eksterior masjid membuatnya tampak mencolok dan menarik perhatian, terutama dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Keunikan lain dari masjid ini terletak pada bagian dalamnya, yang memiliki 12 tiang kayu kukuh sebagai penyangga utama.
Menara masjid, yang sepenuhnya terbuat dari kayu, menambah kekhasan desain Masjid Shiratal Mustaqiem, berbeda dengan menara masjid modern lainnya. Struktur dengan atap tumpang yang melekat pada masjid ini mencerminkan tradisi arsitektur yang akrab dan umum digunakan di era pembangunan masjid tersebut.
"Keunikan lainnya dari masjid ini adalah kotak infak berusia lebih dari 100 tahun dan Al-Qur'an tulisan tangan yang berusia lebih dari tiga abad. Dan merupakan peninggalan berharga dari ulama Habib Abdurrahman Assegaf," ungkap dia.
![]() |
Hingga kini Masjid Shiratal Mustaqiem tetap aktif digunakan untuk berbagai kegiatan ibadah dan keagamaan. Khusus Ramadan, masjid ini semakin ramai dikunjungi, baik jemaah lokal maupun wisatawan yang terpesona oleh keunikan arsitektur dan nilai sejarah yang melekat pada masjid tersebut.
"Ramadan, biasanya lebih ramai. Sampai saat ini masih kami gunakan untuk salat, tadarus, dan kegiatan lainnya," ujarnya.
Meskipun telah berusia ratusan tahun, Masjid Shiratal Mustaqiem masih mampu menampung lebih dari 500 jemaah. Hal ini menjadikannya salah satu lokasi utama untuk pelaksanaan Salat Idul Fitri di Samarinda.
Keindahan arsitektur, sejarah panjang, dan fungsinya yang tetap relevan hingga kini menjadikan masjid Shiratal Mustaqiem sebagai warisan berharga bagi masyarakat Samarinda dan sekitarnya.
Saat ini masjid Shiratal Mustaqiem masuk sebagai cagar budaya yang dilindungi UU No 5/1992. Dan pada 2003 lalu pernah menduduki posisi ke-2 Festival Masjid Bersejarah di Indonesia.
"Dulu masjid ini juga sempat direnovasi pada 2001. Kami harap masjid ini tetap kukuh dan menjadi berkah bagi warga Samarinda," tutupnya.