Sebagai bangsa dengan banyak keberagaman, menjadikan Indonesia selalu menarik untuk dibahas. Setiap daerah memiliki karakteristik yang menghasilkan budaya yang berbeda. Budaya masyarakat Lombok, salah satunya.
Masyarakat yang tinggal di pulau yang dijuluki sebagai pulau seribu masjid tersebut menyimpan budaya kearifan lokal yang masih terjaga hingga kini.
Dilansir dari Indonesia.go.id, secara demografi populasi terbesar di pulau Lombok merupakan suku Sasak. Orang Sasak mendominasi 80 persen dari total populasi di pulau Lombok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mayoritas penduduk Lombok menganut agama Islam. Namun, ada perbedaan nuansa Islam di Lombok dengan daerah lain di Indonesia.
Perbedaan tersebut dapat dijumpai di Desa Sembalun yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Masyarakat desa di sana masih melestarikan budaya animisme dan spiritual yang dipercaya sebagai penjaga Gunung Rinjani.
Masyarakat setempat menganggap bahwa gunung itu adalah tempat Dewi Anjani bersemayam sekaligus sebagai sumber kekuatan spiritual Lombok. Dewi Anjani sendiri dipercaya sebagai sosok perempuan sakti yang dulunya seorang manusia, yang berubah menjadi ratu jin.
Mereka juga percaya bahwa Dewi Anjani merupakan penyebar agama Islam di pulau Lombok. Karenanya, mereka percaya bahwa bangsa jin yang mendiami Gunung Rinjani adalah jin Islam.
Tidak heran, seluruh masyarakat di desa tersebut pasti pemeluk agama Islam, namun dengan nuansa Islam yang lekat dengan warna budaya warisan nenek moyang.
Nuansa Islam yang dipercaya masyarakat Sasak itu juga terlihat di Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Banyak budaya khas suku Sasak yang menyatu dengan Islam.
Salah satunya, Budaya Wetu Telu. Pada 1940, seorang penulis bernama J. Van Ball menuliskan bahwa Wetu Telu merupakan pusat kebudayaan dan komunitas suku Sasak. Tulisan Van Ball telah diterjemahkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul "Pesta Alip di Bayan".
Pesta Alip adalah ritual yang diselenggarakan setiap delapan tahun. Tujuannya, menjaga makam para leluhur Bayan yang berada di komplek pemakaman masjid kuno Bayan.
Namun, istilah Wetu Telu belum diketahui pasti kemunculannya. Kata "wetu" bukan kosa kata bahasa Sasak-Bayan. Ada dugaan bahwa Islam disebarkan oleh orang Jawa.
Karenanya, istilah "wetu" sering disamakan dengan istilah "metu" dalam bahasa Jawa yang berarti "muncul" atau "keluar". Sedangkan kosakata "telu" sendiri artinya "tiga" dalam Bahasa Sasak-Bayan.
Sehingga Metu Telu atau Wetu Telu diartikan dengan "Muncul dari Tiga Hal". Istilah itu juga yang memunculkan sebutan Islam Wetu Telu.
Penganut Islam Wetu Telu, memiliki pandangan hidup yang serba Telu atau tiga dan menjadikan angka 3 sebagai angka sakral. Angka 3 tersebut melambangkan sistem reproduksi manusia yakni "Mentioq" (berbenih), "Mentelok" (bertelur), dan "Menganak" (beranak) yang menjadi sumber kehidupan dan bukti kebesaran Tuhan.
Istilah Wetu Telu juga disebutkan dari sumber lain yang berasal dari bahasa Jawa, yakni Metu Saking Telu. Artinya keluar atau bersumber dari Al-Quran, Hadis dan Ijma.
Sehingga, penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ajaran ketiga hal tersebut. Tentu berbeda dengan Islam pada umumnya yang mengimplementasikan Rukun Islam.
Soal kalimat Syahadat, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hanya, pengucapan Syahadat Islam Wetu Telu tidak menggunakan bahasa Jawa maupun bahasa Arab.
Begitu juga tentang aturan ibadah salat. Para ahli etnografi menyebutkan warga Bayan juga menjalankan salat lima waktu, sama seperti umat Islam pada umumnya. Mereka juga menunaikan ibadah salat Jumat, salat jenazah, dan salat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
Pada saat salat Jumat, masyarakat Islam Wetu Telu juga menjalankan tiga salat tiga waktu. Yakni salat Subuh, salat Magrib, dan salat Isya dalam sehari.
Sedikit berbeda, masyarakat Islam Wetu Telu, berpuasa tiga kali dalam sebulan. Mereka berpuasa saat awal, pertengahan, dan pada akhir bulan Ramadan.
Ada juga pantangan yang harus ditaati masyarakat Islam Wetu Telu saat berpuasa. Antara lain, tidak boleh bekerja, tidak boleh keluar rumah, dan dilarang berbohong.
Dalam hal bersedekah atau Zakat, mereka tidak menyasar orang miskin. Orang Islam Wetu Telu memberikan Zakat mereka kepada para kyai sebagai bentuk balas budi dan berharap mendapat kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Perbedaan yang mencolok terlihat pada amalan rukun Islam kelima. Orang Islam Wetu Telu tidak mengenal istilah Haji dan ziarah ke tanah suci.
Penghormatan kepada leluhur lebih diutamakan sebagai bentuk perantara antara hubungan manusia dengan Tuhan. Mereka percaya bahwa leluhur adalah pembawa berkat Tuhan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi keturunan orang Islam Wetu Telu.
Karena kepercayaan itu sangat terkait dengan masa depan anak-anak, orang Islam Wetu Telu percaya dengan sanksi supranatural berupa kesialan dan kesusahan seumur hidup.
Orang Islam Wetu Telu menyebut aturan tersebut dengan "Pemalik". Tak hanya dianggap sebagai larangan atau pantangan, tapi juga dipercaya sebagai norma dan aturan yang harus dipegang dan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Artikel ini ditulis oleh Niluh Pingkan Amalia Pratama Putri peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/irb)