Sulit Membelas Calon Pengantin Anak

Perkawinan Anak di NTB

Sulit Membelas Calon Pengantin Anak

Ahmad Viqi - detikBali
Jumat, 17 Feb 2023 16:15 WIB
Indonesia Masih Darurat Perkawinan Anak
Ilustrasi perkawinan anak di NTB. Foto: detik
Mataram - Tak mudah bagi Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) Nusa Tenggara Barat (NTB) Suharti membelas atau memisahkan calon pengantin anak. Sebab, dia berhadapan dengan desa yang tidak mempunyai aturan untuk melarang perkawinan anak.

"Misalnya desa punya peraturan boleh menikahkan anak di bawah umur itu biasanya prosesnya (perkawinan anak) akan cepat," tutur Suharti kepada detikBali, Minggu (12/2/2023).

Menurut Suharti, pembelasan biasanya ditentang oleh keluarga perempuan. Sebab, masih ada keyakinan pemisahan calon pengantin akan membuat malu keluarga.

Bahkan, Yayasan Santai pernah menemukan suatu kasus di mana anak perempuan berkeras untuk kembali ke rumah calon pengantin pria meski sudah dipisahkan. Yayasan dan kedua orang tua perempuan itu akhirnya angkat tangan dan menikahkan kedua bocah itu. "Kami angkat tangan kalau sudah tiga kali dibelas dan gagal," tutur Suharti.

Yayasan Santai mulai melakukan upaya membelas sejak 2014 demi mencegah perkawinan anak. Namun, saat itu, upaya Yayasan terbentur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Aturan itu menyebutkan perkawinan diizinkan apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Namun, UU 1/1974 itu kemudian diubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Regulasi anyar itu menyebutkan perkawinan diizinkan saat pria dan perempuan masing-masing minimal berumur 19 tahun.

Yayasan Santai kemudian berupaya mendorong agar desa memiliki aturan pernikahan anak. Suharti mulai masuk ke desa-desa pada 2017 untuk mendorong terbitnya regulasi desa itu.

Sejumlah desa yang dikunjungi antara lain Desa Taman Baru dan Sekotong Tengah, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Selain itu, Yayasan juga masuk ke Desa Medana dan Singar Penyalin di Kabupaten Lombok Utara. Setelah mendapatkan pengertian dampak negatif perkawinan anak, desa-desa itu membentuk peraturan pencegahan pernikahan bocah.

Bahkan, desa-desa itu juga membentuk gugus tugas desa layak anak. "Jadi lembaga ini yang berperan melakukan upaya pembelasan pernikahan anak," tutur Suharti.

Data Yayasan Santai menyebutkan pembelasan tertinggi yang ditangani lembaga itu terjadi pada 2017 dengan 117 kasus. Namun, pada 2018, Yayasan hanya bisa memisahkan 48 calon pengantin anak.

Data pembelasan pada 2019 sebanyak 22 kasus dan 2020 (29). Adapun pada 2021, jumlah calon pengantin yang bisa dipisahkan sebanyak 11 pasangan. Setahun kemudian, Yayasan Santai bisa memisahkan delapan calon pengantin anak.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Wismaningsih Drajadiah menuturkan pembelasan calon pengantin bocah sulit dilakukan karena masih adanya pemahaman masyarakat yang keliru. Pada 2022, hanya Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah yang melaporkan adanya pemisahan 55 calon pengantin anak pada Dinas.

"Ini belum sembilan daerah lain. Karena ini aib, jadi kadang orang tua tidak melaporkan (pembelasan)," kata Drajadiah.


(irb/gsp)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Hide Ads