Biang Kerok Tingginya Pernikahan Anak di NTB

Perkawinan Anak di NTB

Biang Kerok Tingginya Pernikahan Anak di NTB

Ahmad Viqi - detikBali
Sabtu, 18 Feb 2023 13:10 WIB
ilustrasi pernikahan dini
lustrasi pernikahan dini. Foto: Thinkstock
Mataram -

Tak mudah bagi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencegah perkawinan anak. Sebab, pernikahan anak di daerah tersebut disebabkan banyak faktor.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Wismaningsih Drajadiah membeberkan biang kerok perkawinan anak mulai dari pandemi Covid-19 hingga salahnya pola asuh anak.


Pandemi COVID-19

Kepala DP3AP2KB NTB Wismaningsih Drajadiah mengatakan saat pandemi COVID-19 hampir semua anak-anak di NTB tidak belajar di sekolah. Belajar secara online justru membuat bocah-bocah itu berkeluyuran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak anak bilangnya belajar, tapi tidak tahu belajar atau tidak. Chatting dengan pacarnya kan tidak tahu, tahu-tahu sudah menikah," kata Drajadiah, Selasa (7/2/2023).

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) Wismaningsih Drajadiah.Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) Wismaningsih Drajadiah. Foto: Ahmad Viqi/detikBali

ADVERTISEMENT

Drajadiah mengungkapkan angka pernikahan anak di sepuluh kabupaten/kota di NTB mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir. Pada 2019, perkawinan anak mencapai 16,01 persen dan setahun kemudian angkanya naik menjadi 16,59 persen.

Pegiat anti perkawinan anak Minhatul Aulaq menyampaikan hal senada. Wabah COVID-19 menjadi salah satu penyebab tingginya pernikahan anak di NTB. Sebab, saat itu bocah-bocah lebih banyak di rumah dan bermain dengan ponselnya. Namun, tak sedikit juga yang malah keluyuran.

Minha mengungkapkan kasus pernikahan anak di Desa Jenggik Utara, Lombok Timur, cukup tinggi. Sejak 2019-2021 terdapat 10-14 perkawinan anak. Bahkan, sejak awal tahun ini sudah ada dua pernikahan anak di desa tempat tinggalnya itu.

Ekonomi dan Pendidikan Rendah

Minha mengatakan kondisi ekonomi orang tua yang rendah juga menyebabkan maraknya perkawinan anak di Desa Jenggik Utara. Apalagi, sebagian orang tua di desa itu bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). "Jadi kurang mendapatkan perhatian karena ekonomi mereka rendah," tuturnya.

Terus terjadinya perkawinan anak juga disebabkan orang tua anak tersebut juga menikah saat belum dewasa. Walhasil, tanpa sadar banyak orang tua yang menelantarkan anaknya karena belum siap memiliki anak.

Minhatul Aulaq (18) ketua Forum anak yang aktif melawan pernikahan anak di Desa Jenggik, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok TimurMinhatul Aulaq (18) ketua Forum anak yang aktif melawan pernikahan anak di Desa Jenggik, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur Foto: Ahmad Viqi/detikBali

Pendidikan orang tua yang rendah juga membentuk cara pandang masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai hal lumrah. Banyak orang tua yang merestui anaknya menikah muda. Tak jarang, perkawinan anak ini menjadi seperti ajang perlombaan.

Minha sering menemui hal tersebut saat melakukan advokasi. "Masyarakat menganggap ini (menikah muda) hal biasa, daripada zina lebih baik menikah," ungkap mahasiswi jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Hamzanwadi itu.

Pola Asuh Orang Tua

Sosiolog Universitas Negeri Mataram (Unram) Nila Kusuma mengungkapkan penyebab lain tingginya kasus pernikahan anak di NTB adalah pola asuh dalam keluarga. Orang tua yang sibuk bekerja jadi kurang mengawasi pergaulan dan keseharian anaknya.

"Jadi proses pengawasan ke anak tidak maksimal, sehingga menyebabkan anak melakukan perbuatan tidak benar," kata Nila.

Langkah yang bisa diambil untuk menekan kasus pernikahan anak, Nila melanjutkan, adalah dengan memperbaiki pengetahuan tentang dampak pernikahan dini. Orang Tua diberikan pemahaman mengenai akibat menikahkan anaknya di usia muda.

Nila juga menyarankan kepada orang tua untuk melakukan pengawasan dan mengecek ponsel anak secara berkala. Tujuannya, mencegah anak menyimpan maupun menonton konten porno.

Pola asuh anak juga harus diperbaiki sejak usia 0-14 tahun. "Pada usia tersebut kita harus memberi pemahaman soal bahaya mengenal seks dan lawan jenis, termasuk bahaya menikah muda," tutur Nila.




(irb/gsp)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Hide Ads