Tak mudah bagi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencegah perkawinan anak. Sebab, pernikahan anak di daerah tersebut disebabkan banyak faktor.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Wismaningsih Drajadiah membeberkan biang kerok perkawinan anak mulai dari pandemi Covid-19 hingga salahnya pola asuh anak.
Pandemi COVID-19
Kepala DP3AP2KB NTB Wismaningsih Drajadiah mengatakan saat pandemi COVID-19 hampir semua anak-anak di NTB tidak belajar di sekolah. Belajar secara online justru membuat bocah-bocah itu berkeluyuran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak anak bilangnya belajar, tapi tidak tahu belajar atau tidak. Chatting dengan pacarnya kan tidak tahu, tahu-tahu sudah menikah," kata Drajadiah, Selasa (7/2/2023).
![]() |
Drajadiah mengungkapkan angka pernikahan anak di sepuluh kabupaten/kota di NTB mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir. Pada 2019, perkawinan anak mencapai 16,01 persen dan setahun kemudian angkanya naik menjadi 16,59 persen.
Pegiat anti perkawinan anak Minhatul Aulaq menyampaikan hal senada. Wabah COVID-19 menjadi salah satu penyebab tingginya pernikahan anak di NTB. Sebab, saat itu bocah-bocah lebih banyak di rumah dan bermain dengan ponselnya. Namun, tak sedikit juga yang malah keluyuran.
Minha mengungkapkan kasus pernikahan anak di Desa Jenggik Utara, Lombok Timur, cukup tinggi. Sejak 2019-2021 terdapat 10-14 perkawinan anak. Bahkan, sejak awal tahun ini sudah ada dua pernikahan anak di desa tempat tinggalnya itu.
Baca juga: Beragam Cara Menangkal Perkawinan Anak |
Ekonomi dan Pendidikan Rendah
Minha mengatakan kondisi ekonomi orang tua yang rendah juga menyebabkan maraknya perkawinan anak di Desa Jenggik Utara. Apalagi, sebagian orang tua di desa itu bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). "Jadi kurang mendapatkan perhatian karena ekonomi mereka rendah," tuturnya.
Terus terjadinya perkawinan anak juga disebabkan orang tua anak tersebut juga menikah saat belum dewasa. Walhasil, tanpa sadar banyak orang tua yang menelantarkan anaknya karena belum siap memiliki anak.
![]() |
Pendidikan orang tua yang rendah juga membentuk cara pandang masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai hal lumrah. Banyak orang tua yang merestui anaknya menikah muda. Tak jarang, perkawinan anak ini menjadi seperti ajang perlombaan.
Minha sering menemui hal tersebut saat melakukan advokasi. "Masyarakat menganggap ini (menikah muda) hal biasa, daripada zina lebih baik menikah," ungkap mahasiswi jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Hamzanwadi itu.
Baca juga: Gunung Es Nikah Anak di NTB |
Pola Asuh Orang Tua
Sosiolog Universitas Negeri Mataram (Unram) Nila Kusuma mengungkapkan penyebab lain tingginya kasus pernikahan anak di NTB adalah pola asuh dalam keluarga. Orang tua yang sibuk bekerja jadi kurang mengawasi pergaulan dan keseharian anaknya.
"Jadi proses pengawasan ke anak tidak maksimal, sehingga menyebabkan anak melakukan perbuatan tidak benar," kata Nila.
Baca juga: Salah Kaprah pada Merarik |
Langkah yang bisa diambil untuk menekan kasus pernikahan anak, Nila melanjutkan, adalah dengan memperbaiki pengetahuan tentang dampak pernikahan dini. Orang Tua diberikan pemahaman mengenai akibat menikahkan anaknya di usia muda.
Nila juga menyarankan kepada orang tua untuk melakukan pengawasan dan mengecek ponsel anak secara berkala. Tujuannya, mencegah anak menyimpan maupun menonton konten porno.
Pola asuh anak juga harus diperbaiki sejak usia 0-14 tahun. "Pada usia tersebut kita harus memberi pemahaman soal bahaya mengenal seks dan lawan jenis, termasuk bahaya menikah muda," tutur Nila.
(irb/gsp)