Wabup Manggarai Barat soal Stunting: Faktor Budaya-Persalinan di Dukun

Wabup Manggarai Barat soal Stunting: Faktor Budaya-Persalinan di Dukun

Ambrosius Ardin - detikBali
Minggu, 18 Des 2022 15:44 WIB
Ilustrasi stunting di Indonesia
Ilustrasi stunting (Foto: Getty Images/iStockphoto/Riza Azhari)
Manggarai Barat -

Wakil Bupati Manggarai Barat dr Yulianus Weng akhirnya turun tangan menjelaskan penyebab tingginya kasus balita stunting di daerahnya setelah Dinas Kesehatan setempat kesulitan menjelaskannya. Ia menyebut, penyebab stunting di Manggarai Barat bersifat multifaktor, termasuk di antaranya faktor budaya hingga persalinan yang dilakukan di dukun.

Faktor budaya masyarakat setempat disebutnya menjadi faktor utama kasus stunting balita di Manggarai Barat sulit dikendalikan. Ia memberi contoh kebiasaan dalam keluarga yang tidak memberi porsi gizi yang cukup bagi balita.

"Kebiasaan di masyarakat kita, anak balita belum mendapat porsi gizi. Misalnya kita di rumah tangga potong ayam, biasanya dagingnya, paha, dada kasi bapak, kasi dia punya kakak, kasi orang yang bekerja. Anak kecil, balita kasi kakinya, sayapnya saja," ujar dr Weng, Sabtu (17/12/2022) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, daging adalah sumber protein yang wajib dikonsumsi balita agar kebutuhan gizinya tercukupi. Berikutnya, masyarakat setempat disebut masih memiliki kebiasaan makan asal kenyang. Kebiasaan ini menekankan kebutuhan karbohidrat melalui nasi, namun balita tidak mendapat asupan protein.

"Kita masih makan yang penting kenyang. Nasi aja yang penting, tidak perlu lauk, protein. Yang penting kan kenyang. Nasinya tidak perhatikan sayur, lauknya," kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai ini.

Masih terkait faktor budaya, lanjut dr Weng, ada anggapan di masyarakat bahwa jika tinggi badan ayahnya tinggi maka balita itu pasti tumbuh tinggi seperti ayahnya. Kebutuhan gizi balita tak lagi dianggap faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan bayi termasuk tinggi badannya.

"Anggapan begini, kalau bapak misalnya tinggi, anaknya tidak diperhatikan makan, toh nanti juga tinggi seperti bapaknya. Apalagi anak banyak mana perhatian gizi, yang penting makan, kasi makan, syukur. Toh nanti anak pasti akan besar seperti bapaknya," jelasnya.

Bekerja Keras Saat Kondisi Hamil

Berikutnya, kebisaan ibu-ibu di kampung yang masih bekerja keras dalam kondisi hamil. Pada saat bersamaan asupan gizinya tidak tercukupi dengan baik. Padahal aktivitas itu bisa berpegaruh terhadap kesehatannya maupun janin dalam kandungannya.

"Kalau ngomong stunting ini ngomong dari anak terbentuk dalam kandungan sampai dia lahir, sampai lima tahun. Kita lihat bagaimana perlakuan kita, budaya kita terhadap ibu hamil. Kita lihat ibu hamil di kampung masih pikul roto, masih kerja. Ibu hamil kalau makan untuk dua orang kan (ibu dan janin), tapi kalau ada makan daging, ibu-ibu sisanya nanti. Itulah faktor budaya yang menyebabkan itu," ujar dr Weng.

Faktor lain kasus stunting belum bisa turun signifikan karena rendahnya kesadaran ibu hamil untuk konsumsi makanan bergizi. Padahal makanan yang dikonsumsinya berpengaruh terhadap kondisi janin dalam kandungan hingga pertumbuhannya setelah lahir.

"Kalau urus stunting harus urus anak sedang dalam kandungan sampai lima tahun. Lihat perilaku-perilaku kita saat ibu hamil. Dia tidak mendapat gizi yang baik. Hamil dianggap hal biasa. Hamil nanti nanti pasti lahir, ibu hamil tetap bekerja berat, tidak ada ibu hamil diperlakukan khusus, makannya bergizi, tidak ada," katanya.

Halaman selanjutnya: Andalkan Dukun Saat Persalinan...

Andalkan Dukun Saat Persalinan

Faktor berikutnya, jelas dr Weng, masih ada persalinan ibu hamil yang tidak dilakukan di fasilitas kesehatan (faskes). Mereka justru mengandalkan bantuan dukun.

"Belum semua persalinan itu dilakukan di faskes, Puskesmas, masih ada juga persalinan yang ditolong oleh dukun. Itu fakta yang masih ada di kita. Bayi lahir di dukun, misalnya lama di jalan lahir, mungkin juga nanti pertolongan tidak steril, jadi tidak ditolong dengan sebenarnya. Faktor-faktor ini nanti yang akan berpengaruh kepada bayi," jelas dr Weng.


Ibu hamil juga disebutnya tidak maksimal mengonsumsi vitamin yang didapatnya dari faskes. Menurutnya, masalah stunting sudah harus diperhatikan ketika bayi masih di dalam kandungan.

"Karena stunting ini kekurangan gizi kronis, jadi dalam kandungan ibunya tidak mendapat vitamin A, vitamin penambah darah. Ibu dapat tablet tambah darah untuk minum 90 hari, pulang ke rumah bapaknya capek dia bilang, 'pusing-pusing, mari saya juga minum'. Kan begitu praktek di kita," kata dr Weng.

Perlakuan terhadap bayi usai lahir juga menjadi faktor balita stunting. Menurut dia, masih ada ibu yang belum sepenuhnya memberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama. Dalam masa enam bulan pertama, bayi sudah diberikan makanan pendamping ASI.

"Belum semua kita ini memberikan bayi ASI ekslusif enam bulan. Coba lihat di kampung, bapa-mama kerja biasanya bayi 1 bulan anak titip di nenek, makan kasi pisang, atau dia bikin bubur dia kunyah-kunyah dulu baru kasi. Seharusnya anak ini kasi ASI tanpa yang lain tanpa makanan pendamping," tegas dia.

Berikutnya pengaruh faktor lingkungan. Lingkungan yang kotor akan mempengaruhi kesehatan bayi, misalnya sering kena pilek hingga cacingan. "Itu juga akan mempengaruhi serapan gizi bagi anak, anak yang tidak lengkap mendapat vaksinasi," katanya.

Sosialisasi Belum Maksimal

Ia mengakui, tenaga kesehatan belum maksimal sosialisasikan pencegahan stunting kepada masyarakat. Ada pula yang menganggap stunting hanya urusan orang kesehatan. Ia menjelaskan, ada dua intervensi penanganan stunting, yakni intervensi spesifik dan sensitif.

Intervensi spesifik dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti pemberian tablet tambah darah, membantu persalinan di faskes, pemberian makanan tambahan (PMT) ibunya. Intervensi spesifik ini hanya punya dampak 30 persen dalam upaya penurunan pencegahan stunting.

Sementara 70 persen lainnya adalah intervensi sensitif. Intervensi ini menurutnya menjadi tanggung jawab lintas organisasi perangkat daerah (OPD), seperti penyediaan air bersih, lingkungan bersih, ketersediaan makanan cukup, dan lainnya.

"Jadi mengapa prosentase stunting masih belum bisa di bawah 10 persen karena berbagai faktor, multifaktor yang sudah lama yang dianggap masyarakat hal biasa. Yah, balita pendek nanti juga kan tinggi, misal begitu," kata dr Weng.

Sebelumnya, Dinkes Manggarai Barat kesulitan menjelaskan penyebab kasus balita stunting di Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Berdasarkan data tahunan yang dikeluarkan setiap bulan Agustus, jumlah balita stunting pada 2022 meningkat dari tahun 2021 menjadi 3.711 orang atau 15,9 persen dari 23.349 balita diukur. Pada 2021, jumlah balita stunting sebanyak 3.495 orang atau 15,1 persen dari 23.185 bayi diukur.

Jumlah terbanyak balita stunting di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2022 berada di Labuan Bajo sebanyak 588 orang, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 538 orang. Beberapa daerah dengan sebaran kasus stunting tinggi adalah Wae Nakeng 401 orang, Werang 332 orang, Terang 264 orang, dan Orong 260 orang.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Aksi Demo Tuntut Kecurangan di KPU Manggarai Barat Berujung Ricuh"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/hsa)

Hide Ads