Balai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota Mataram menyita sebanyak 13.600 tablet obat keras dari sales ilegal di Kecamatan Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Belasan ribu tablet obat keras itu di terdiri atas 136 boks.
Kepala Balai BPOM Mataram Yosef Dwi Irwan membeberkan sekitar 13.600 tablet obat keras yang disita terdiri dari jenis antibiotika dan analgetik. Rinciannya, sebanyak 36 boks obat super tetra, 30 ampicillin, 40 boks metrolet, serta 30 boks asam mefenamat.
"Tim segera bergerak seusai mendapat laporan dari masyarakat, upaya ini kami lakukan untuk memutus mata rantai peredaran obat bukan pada jalur yang seharusnya," kata Yosef, Senin (22/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didapatkan satu tersangka berinisial MW (46) dalam kasus tersebut. MW dikenakan Undang Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 436 karena menjual obat keras tanpa keahlian dan kewenangan dengan ancaman hukum paling lama lima tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
"Penegakan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan gentar terhadap pelaku kejahatan lainnya. Masyarakat harus jadi konsumen yang cerdas, dengan cek kemasan, label, izin edar dan tanggal kedaluwarsa (CEK KLIK) sebelum membeli atau mengonsumsi obat dan makanan," jelas Yosef.
Yosef menegaskan obat hanya dapat dijual pada sarana berizin, seperti toko obat, apotek, rumah sakit, puskesmas, dan klinik. Obat-obat di pasaran juga harus dikelola oleh tenaga kefarmasian, yakni apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
"Jika dikelola bukan dari ahlinya bisa berisiko terhadap kesehatan, bahkan kematian. Berdasarkan hasil pemeriksaan, obat diperoleh dari online shop (Shopee). Selain menjual obat keras, pelaku juga menjual obat bebas dan bebas terbatas," ujarnya.
Sebagian besar temuan merupakan obat golongan antibiotik. Berbagai jenis obat tersebut berpotensi meningkatkan kejadian resistansi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR).
Resistansi antimikroba saat ini telah menjadi salah satu ancaman besar terhadap keamanan kesehatan global. Selain menimbulkan dampak kematian, AMR ini juga menyebabkan kerugian ekonomi. Jika hal ini tidak segera dihentikan, setiap tahunnya akan ada 10 juta orang meninggal secara global karena AMR.
"Maka dari itu, perlu kolaborasi dan komitmen bersama dalam pengendalian AMR ini, silent pandemic yang mengancam kesehatan dan finansial secara global. Masyarakat jangan sembarangan membeli antibiotik tanpa resep dari dokter," tutur Yosef.
Yosef meminta masyarakat NTB untuk cermat dalam membeli antibiotik. Terlebih lagi ketika membeli obat bukan pada sarana yang berizin, seperti apotek, rumah sakit, puskesmas, ataupun klinik.
"Toko obat juga dilarang menjual antibiotik karena masuk kategori obat keras. Jika masyarakat menemukan adanya pelanggaran silahkan laporkan ke BBPOM Mataram atau juga ke Dinas Kesehatan terdekat," terangnya.
(hsa/gsp)