185 orang perempuan dan anak menjadi korban kekerasan di Bali, terhitung dari Januari hingga September 2023. Data kekerasan ini dibeberkan Unit Pelaksana Tugas Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bali.
Kepala UPTD PPA Provinsi Bali Luh Hety Vironika mengatakan data kekerasan ini berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). Jumlah itu menandakan bahwa anak dan perempuan masih rentan mengalami kekerasan.
"Ini kasus kekerasan di Bali, datanya dari SIMFONI PPA. Jadi karena saya ada di Provinsi Bali, saya bisa melihat semua kasus kekerasan yang ada di provinsi," kata Hety saat lokakarya pemberitaan kekerasan seksual di Kabupaten Badung, Jumat (15/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain membeberkan data pada 2023, Hety juga mengungkapkan jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak pada dua tahun sebelumnya. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 439 di 2021 dan naik menjadi 516 pelaporan pada 2022.
Terdapat tiga jenis pelaporan terbanyak yang ditangani oleh UPTD PPA provinsi beserta kabupaten dan kota di Bali, yakni kekerasan fisik, psikis dan seksual. Dari Januari hingga September 2022, terdapat 80 pelaporan kekerasan fisik, 83 psikis, dan 45 seksual.
Kemudian pada 2021 terdapat pelaporan 108 kekerasan fisik, 155 psikis, dan 83 seksual. Kemudian, pada 2023 terdapat 108 pelaporan kekerasan fisik, 176 psikis, dan 116 seksual.
"Tapi sekali lagi, ini adalah data yang terlapor. Kenyataannya yang terjadi kami nggak tahu. Karena di Indonesia pelecehan seksual itu masih dianggap sebagai aib," jelas Hety.
Hety berharap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat menurun. Sementara laporan yang masuk bisa saja meningkat. Sebab, laporan yang meningkat bisa saja menjadi cermin dari kesuksesan sosialisasi yang sudah dilakukan.
Sosialisasi, ungkap Hety, terus dilakukan di UPTD PPA Provinsi Bali, terutama kepada anak-anak dan remaja. Hety berharap mereka bisa menjadi pelopor dan pelapor terhadap terjadinya tindakan kekerasan.
"Mereka itu harus menjadi pelopor dan pelapor. Jadi mereka sebagai pelopor anti kekerasan seksual, sebagai pelopor anti kekerasan psikis, supaya mereka berani bicara berani speak up," harapnya.
Hety menegaskan bahwa laporan terhadap kekerasan ke UPDT PPA Provinsi Bali tidak hanya bisa dilakukan oleh korban. Tetapi laporan juga bisa dilakukan oleh masyarakat termasuk media sosial.
"Laporan di kami bisa dilakukan oleh siapapun, bukan saja oleh korban. Oleh bapak dan ibu, oleh media sosial, itu bisa kita terima laporannya. Yang penting nanti kita bisa antisipasi," jelasnya.
(hsa/hsa)