Kendala Penanganan Kekerasan Seksual WNA: Visa Terbatas-Stigma Pakaian Seksi

Denpasar

Kendala Penanganan Kekerasan Seksual WNA: Visa Terbatas-Stigma Pakaian Seksi

I Wayan Sui Suadnyana - detikBali
Selasa, 07 Feb 2023 21:01 WIB
Poster
Ilustrasi Kekerasan Seksual. Foto: Edi Wahyono
Denpasar -

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali menangani lima kasus kekerasan seksual yang menimpa warga negara asing (WNA) di Pulau Dewata sepanjang tiga tahun terakhir. Para pelaku kekerasan seksual itu ialah warga Indonesia.

Ketua LBH APIK Bali Ni Luh Putu Nilawati menuturkan beberapa kasus itu tak bisa lanjut hingga putusan pengadilan. "Ada yang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terutama di beberapa Polres karena visa tinggal habis dan (korban) pulang ke negaranya," kata Nilawati, Selasa (7/2/2023).

Nilawati mencontohkan kekerasan seksual yang dialami oleh WNA itu beragam. Misalkan, ada yang dilecehkan oleh ojek online.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Nilawati, penegakan hukum kasus kekerasan seksual pada orang asing kerap mengalami kendala. Sebab, korban sering dipanggil berulang kali oleh polisi untuk memberikan keterangan tambahan atau klarifikasi. Padahal, visa tinggal WNA itu terbatas.

"Dengan visa tinggal yang sudah habis tentu mereka sudah kembali ke negaranya," ungkap Nilawati.

ADVERTISEMENT

Kendala lain, Nilawati melanjutkan, korban kekerasan seksual mengalami gangguan psikologis seperti trauma dan depresi. Kondisi itu membuat mereka enggan untuk datang memenuhi pemeriksaan polisi. "Jadi dengan demikian bagaimana mungkin polisi bisa melanjutkan case-nya, otomatis kasus ditutup," tuturnya.

Menurut Nilawati, kini polisi tidak harus mendatangkan korban kekerasan seksual ketika ada penambahan keterangan pemeriksaan atau klarifikasi. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Polisi, tutur Nilawati, bisa meminta keterangan tambahan atau klarifikasi terhadap korban kekerasan seksual secara virtual. Misalkan, dengan telekonferensi atau panggilan video (video call).

Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini menambahkan penanganan kasus kekerasan seksual yang korbannya WNA seringkali terkendala bahasa. Kondisi itu diperparah dengan adanya stigma buruk bagi korban kekerasan seksual tersebut karena pakaiannya dianggap seksi.

"Stigma buruk juga WNA bule itu dianggap mengundang (pelaku kekerasan seksual) dengan pakaian-pakaian seksi," Iswarini.




(gsp/nor)

Hide Ads