detikBali

Jejak Nyama Selam, Sejarah Identitas Kelompok Muslim Bali

Terpopuler Koleksi Pilihan

Jejak Nyama Selam, Sejarah Identitas Kelompok Muslim Bali


Adila Farhah Nursyifa - detikBali

Gapura Desa Pegayaman, Buleleng, Bali, Minggu (24/3/2024). Desa Pegayaman merupakan salah satu kampung muslim di Pulau Dewata.
Desa Pegayaman. Foto: Made Wijaya Kusuma/detikBali
Daftar Isi
Denpasar -

Pulau Dewata tidak hanya dihuni oleh suku Bali saja, melainkan ada Nyama Selam. Nyama Selam merujuk pada masyarakat Islam di Bali yang menjalankan tradisi dan budaya Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti di Desa Bukit, Kecamatan Karangasem. Masyarakat Hindu dan Islam hidup berdampingan dalam ikatan yang oleh warga setempat disebut sebagai Nyama Bali, Nyama Selam yang artinya saudara Hindu dan saudara Muslim.

Tidak banyak yang tahu, keharmonisan ini bukan hanya hasil dari kebiasaan sosial, tetapi berakar kuat dari sejarah panjang politik Kerajaan Karangasem, hubungan pertuanan dengan masyarakat Sasak Lombok, hingga simbol-simbol budaya yang dijaga sampai kini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada masa tersebut, belum terlihat masalah fundamental masyarakat muslim di Bali, tetapi sudah ada tanda-tanda cikal-bakal akulturasi dari sebuah konflik halus dengan penyebutan Nyama Selam, yang diintrodusir dengan istilah jelema selam, jelema dauh tukad, jelema kedituan, jelema mengkono, dauh tukad, dan sebagainya. Sehingga interaksi yang intens menciptakan percepatan tumbuhnya masyarakat multikultural.

Maka Nyama Selam diakui sebagai kelompok masyarakat beragama islam yang mengimplementasikan kebudayaan Bali dan diakui sebagai etnis tersendiri di Bali.

ADVERTISEMENT

Akar Sejarah Kehadiran Muslim di Karangasem

Ratusan warga di Kampung Kecicang Islam, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali, menggelar tradisi Menekan untuk merayakan hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah. (Foto: I Wayan Selamat Juniasa/detikBali)Ratusan warga di Kampung Kecicang Islam, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali, menggelar tradisi Menekan untuk merayakan hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah. (Foto: I Wayan Selamat Juniasa/detikBali)

Kehadiran masyarakat Islam di Karangasem tidak terlepas dari ekspansi kerajaan ke Lombok pada 1691-1740. Setelah menaklukkan Kerajaan Selaparang, Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem, kembali ke Bali membawa sejumlah pusaka penting.

Pusaka itu di antaranya Bende, gong kecil yang sebelumnya menjadi genderang perang di Lombok. Bersama pusaka itu, Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem juga membawa kelompok masyarakat Sasak untuk tinggal dan menjaga keamanan puri. Mereka inilah cikal bakal komunitas Islam yang kemudian menetap di berbagai wilayah Karangasem, termasuk di perbukitan Desa Bukit.

Mengutip penelitian I Made Pageh, Wayan Sugiartha, dan Ketut Sedana Artha, berjudul "Toleransi Nyama Bali-Nyama Selam di Desa Bukit, Karangasem, Bali dan Potensinya sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA"; menjelaskan bahwa harmoni antara komunitas Hindu dan Muslim di Bali bukanlah fenomena baru, melainkan hasil dari perjalanan sejarah panjang sejak masa pra-kolonial.

Di sejumlah wilayah seperti Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar), Gelgel Klungkung), hingga Loloan (Jembrana), komunitas muslim telah hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu Bali selama ratusan tahun. Interaksi yang terus-menerus ini menumbuhkan ikatan sosial yang kemudian melahirkan istilah 'Nyama Bali' bagi umat Hindu dan 'Nyama Selam' bagi umat Muslim, penanda bahwa keduanya saling mengakui sebagai keluarga.

Penempatan masyarakat Islam tidak dilakukan sembarangan. Kerajaan Karangasem menghormati keyakinan mereka dengan menempatkan komunitas Sasak yang menganut Islam Wetu Telu di kawasan perbukitan, tempat yang dianggap sakral dan dekat dengan nilai spiritual mereka.

Hubungan dengan Puri Karangasem

Destinasi Wisata Sejarah di Puri Agung KarangasemDestinasi Wisata Sejarah di Puri Agung Karangasem Foto: Ni Made Nami Krisnayanti

Hubungan masyarakat Islam dengan Puri Karangasem terjalin dalam ikatan gusti-kawulo, relasi pertuanan tradisional. Puri Karangasem memberikan tanah perkebunan sekaligus tempat tinggal bagi warga Islam di Desa Bukit. Sebagai balasannya mereka mendapat peran penting dalam ritual kerajaan.

Hingga kini, masyarakat Islam masih memikul tugas sebagai Juru Sapuh dan pemikul Bende dalam upacara Pujawali di Pura Bukit, pura keluarga Kerajaan

Karangasem yang dibangun sejak abad ke-16. Bende yang dahulu simbol penaklukan kini justru berubah menjadi simbol toleransi dan persaudaraan..

Harmoni ini bertahan karena adanya faktor integratif, mulai dari kedekatan sejarah, peran kerajaan, relasi ekonomi, hingga tradisi bersama. Pada masa kerajaan, misalnya komunitas muslim sengaja ditempatkan di sekitar pusat kekuasaan seperti Puri Karangasem untuk memperkuat lini pertahanan. Penempatan itu justru melahirkan hubungan kaula-gusti yang berlangsung turun-temurun.

Selain sejarah politik, hubungan sosial-budaya juga memperkuat integrasi. Di Pegayaman dan Budakeling, masyarakat muslim memakai nama-nama khas Bali seperti Wayan, Nyoman, atau Ketut, berbicara dalam bahasa Bali, serta mengikuti tradisi lokal seperti ngejot, tradisi saling mengirim makanan ketika hari raya. Umat Hindu mengirim makanan saat Galungan dan Nyepi, sementara umat muslim melakukan hal serupa di Idul Fitri.

Integrasi juga tampak dalam ritual keagamaan tertentu. Di Desa Pemogan misalnya, Kidung Ahmad Muhammad, sebuah kidung bernuansa Islam, justru menjadi bagian penting dalam prosesi melasti saat Nyepi. Tradisi ini menunjukkan adanya peminjaman budaya yang berlangsung alami antarumat.

Toleransi di Desa Bukit dalam Kehidupan Sehari-hari

Pihak LDII Bali bersama dengan Pecalang ketika ngejot daging kurban kepada warga lintas agama yang berada di kawasan LDII Bali, di Jalan Padang Griya II No 1 Denpasar, Bali pada Minggu (10/7/2022).Pihak LDII Bali bersama dengan Pecalang ketika ngejot daging kurban kepada warga lintas agama yang berada di kawasan LDII Bali, di Jalan Padang Griya II No 1 Denpasar, Bali pada Minggu (10/7/2022). Foto: Ni Made Lastri Karsiani Putri/detikBali

Ada empat bentuk utama toleransi yang masih berjalan di Desa Bukit:

1. Subak Abian Tri Loka Pala Seraya

Didirikan pada 1984, subak ini unik karena dikelola oleh anggota Hindu dan Islam secara bersama-sama. Mereka bermusyawarah untuk menentukan kepengurusan, pembagian lahan, dan pengairan secara adil. Dalam persiapan upacara di Pura Subak, masyarakat Islam ikut membantu persiapan dan bahkan menyediakan bahan untuk banten; warga Hindu menghormati kehadiran warga muslim yang berdoa sesuai kepercayaannya.

2. Pacalang Jaga Baya

Sejak 2020, Desa Bukit memiliki pecalang gabungan yang terdiri dari umat Hindu dan Islam. Pecalang Jaga Baya bertugas menjaga keamanan saat upacara besar kedua agama, mulai dari Idul Fitri hingga Nyepi kolaborasi yang menunjukkan bahwa keamanan desa adalah tanggung jawab bersama tanpa memandang agama.

3. Tradisi Magibung

Magibung, tradisi makan bersama dalam satu wadah tidak hanya dilakukan dalam upacara Hindu, tetapi juga dipakai dalam acara masyarakat Islam seperti pernikahan dan syukuran. Setiap kelompok menyiapkan makanan sesuai keyakinan masing-masing, lalu menyantapnya bersama sebagai tanda penghormatan dan kedekatan sosial.

4. Ngejot: Mengirim Hidangan Sebagai Tanda Kasih

Tradisi anggota masyarakat saling mengirim makanan saat hari raya atau perayaan tertentu masih sangat hidup. Baik dalam Galungan, Kuningan, Nyepi, maupun Idul Fitri, masyarakat saling mengantarkan nasi, jajan, atau hidangan lain sebagai simbol syukur dan persaudaraan. Kebiasaan ini membuat hubungan antarwarga tanpa memandang agama terikat oleh rasa saling peduli.




(nor/nor)











Hide Ads
LIVE