Sejumlah petani di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, melakukan aksi protes setelah lahan mereka dinilai melanggar aturan oleh Pansus TRAP DPRD Bali. Sebagai bentuk penolakan, mereka memasang puluhan lembar seng di lahan pribadi yang terdapat untuk akomodasi pariwisata di kawasan Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih.
Para petani juga meminta pemerintah berlaku adil. Sebab, mereka ingin ikut merasakan manfaat dari pesatnya pariwisata di Jatiluwih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nengah Darmika Yasa, salah satu pemilik lahan, menyebut pemasangan seng dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk menyelamatkan Jatiluwih yang mendapat status Warisan Budaya Dunia (WBD) dari UNESCO.
"Saat ini ada 15 seng yang dipasang. Nanti menyusul lainnya di lahan petani yang dianggap melanggar oleh pansus," ujar Darmika Yasa.
Menurut dia, seng dipasang untuk membuat pengunjung silau. Namun tujuan utamanya adalah menyuarakan keresahan petani.
"Kalau WBD tidak mau terusik ya sekalian jangan ada pariwisata. Semua harus ditutup pemerintah tidak tebang pilih," tegasnya.
Ia juga sangat menyayangkan aksi Satpol PP yang menyegel akomodasi miliknya saat ada sidak Pansus TRAP pada Selasa (2/12/2025). "Mereka tanpa permisi ke saya langsung main segel. Bahkan Surat Peringatan ke-3 baru saya terima hari ini (Kamis)," sesalnya.
Padahal, Darmika Yasa rutin membayar pajak tanah sebesar 50 persen dan pajak rumah makan ke pemerintah. Namun ironisnya setelah pajak diambil, justru usaha miliknya disegel pemerintah.
"Saya rutin bayar pajak tanah dan rumah makan. Tetapi kenapa justru pemerintah yang menutup sumber rezeki saya. Saya hanya menuntut keadilan," tandasnya.
Hal senada disampaikan Wayan Kawiasa (52), warga Banjar Jatiluwih Kawan, yang merasa kecewa atas penyegelan tersebut. Ia mengibaratkan petani lokal seperti ayam yang bertelur di atas padi namun tidak pernah menikmati hasilnya.
Pemasangan seng oleh petani di DTW Jatiluwih sebagai bentuk protes soal penyegelan usaha, Kamis (4/12/2025). (Krisna Pradipta) |
Sementara Wayan Kawiasa (52) warga Banjar Jatiluwih Kawan, yang kecewa dengan penyegelan tersebut. Menurutnya, petani lokal ibaratnya bertelur di atas padi tapi tidak pernah menikmati hasil.
"Kami petani lokal seperti ayam yang bertelur di atas padi. Telurnya diambil, tapi kami tidak diperbolehkan makan padinya," kata Wayan Kawiasa.
Kawiasa sendiri belum memastikan bangunannya termasuk dari 13 bangunan yang dianggap melanggar tata ruang. Ia hanya mengubah gubuk berukuran 3,4 meter yang dulunya kandang sapi menjadi warung sederhana.
"Terasering ini memang dibentuk apal, tapi dibuat seperti sekarang kan oleh leluhur kami. Tapi kenapa kami para petani kecil justru dipersulit di tanah kami sendiri," paparnya.
Menurutnya, sebagai petani pemasukannya tidak seberapa. Sehingga ia memutuskan mengais rezeki tambahan dengan membuka warung seiring pesatnya pariwisata di Jatiluwih.
"Kalau ini ditutup, apakah pemerintah mau menjamin kehidupan anak, istri dan keluarga saya? Saya hanya minta keadilan," harapnya.
Menurutnya, pengelola DTW tidak memberikan insentif kepada petani. Kalaupun ada, penghasilan itu dibagi bukan ke individu melainkan ke kelompok subak.
"Insentif tidak ada. Kami hanya mendapat bantuan pupuk dan bibit," tegasnya.
Wayan Kawiasa menuturkan jika keberlangsungan sawah di Jatiluwih juga terancam. Pasalnya tidak ada regenerasi petani saat ini.
"Mungkin saya ini generasi terakhir yang mau jadi petani. Anak saya kerja di kota, tidak mau jadi petani," tandasnya.
Sebelumnya, Panitia khusus (Pansus) Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan (TRAP) DPRD Bali melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Penebel, Selasa (2/12/2025). Dalam pengecekan itu, pansus menemukan 13 bangunan yang melanggar aturan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) hingga warung berkedok gubuk di tengah area persawahan.
Gubuk-gubuk tersebut banyak terlihat di sepanjang jalur trekking di tengah sawah Jatiluwih. Sebagian besar memang digunakan untuk urusan pertanian, seperti menyimpan hasil panen maupun peralatan pertanian. Ada juga gubuk untuk kandang sapi. Namun, di beberapa titik terlihat gubuk justru digunakan untuk tempat berjualan.
Ketua Pansus TRAP, Made Suparta, meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan dan pengelola DTW Jatiluwih menindak tegas pelanggaran tersebut. Pansus menilai penggunaan gubuk untuk berjualan merupakan pelanggaran pemanfaatan ruang di LP2B dan LSD. Mereka juga mendorong agar gubuk-gubuk yang ada diseragamkan demi menjaga keasrian lanskap sawah.
(nor/nor)











































