Pulau Bali memiliki cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Terdapat cerita legenda masyarakat yang memiliki makna dan pesan moral yang mendalam. Yuk simak kumpulan cerita legenda rakyat Bali berikut.
1. Kisah Jayaprana dan Layonsari
Di sebuah kerajaan di Buleleng, hiduplah seorang pemuda bernama I Jayaprana. Ia merupakan anak yatim piatu yang baik hati dan kemudian diangkat menjadi abdi kerajaan. Berkat ketulusan dan ketampanannya, Jayaprana sangat disayangi oleh raja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Ni Layonsari, dan keduanya saling jatuh cinta. Cinta mereka direstui oleh rakyat dan bahkan oleh raja sendiri. Namun setelah pernikahan mereka berlangsung, sang raja diam-diam tergoda oleh kecantikan Layonsari. Dengan niat jahat, ia mengirim Jayaprana ke hutan dengan alasan tugas kerajaan, padahal ia telah memerintahkan pengawalnya untuk membunuh sang pemuda.
Jayaprana akhirnya tewas dengan cara yang tragis, dan ketika Layonsari mengetahui hal itu, ia menolak menjadi istri raja. Dengan hati hancur, Layonsari memilih mengakhiri hidupnya menggunakan keris Jayaprana. Kisah cinta suci ini kemudian menjadi simbol kesetiaan dan kejujuran, serta peringatan terhadap keserakahan dan kekuasaan yang menindas. Hingga kini, makam mereka di Teluk Terima, Buleleng, dijadikan tempat ziarah dan simbol cinta abadi masyarakat Bali Utara.
2. Kisah Sanghyang Dedari
Legenda Sanghyang Dedari berakar dari tradisi kuno masyarakat Bali yang percaya akan keseimbangan antara dunia nyata dan dunia roh. Alkisah, pada suatu masa, sebuah desa di Bali dilanda wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Masyarakat yang putus asa kemudian memohon petunjuk kepada para tetua adat dan pemangku.
Dalam doa mereka, muncul ilham agar diadakan upacara pemanggilan roh suci yang disebut Sanghyang. Pada malam hari, beberapa gadis kecil yang masih suci dipilih dan dihiasi layaknya bidadari. Mereka kemudian menari dalam keadaan kesurupan, seolah tubuh mereka menjadi media bagi roh suci untuk turun dan menetralkan energi negatif di desa.
Sejak saat itu, ritual Sanghyang Dedari dipercaya mampu mengusir wabah serta menjaga keharmonisan antara manusia dan alam niskala. Tradisi ini pun diwariskan turun-temurun dan hanya dilakukan pada waktu tertentu dengan aturan ketat.
Nilai moral dari kisah ini adalah pentingnya kemurnian hati dan kebersamaan masyarakat dalam menjaga keseimbangan hidup serta menghormati kekuatan spiritual yang melindungi alam semesta.
3. Asal Usul Buleleng Singaraja
Cerita rakyat mengenai asal-usul Buleleng dan Singaraja berawal dari masa pemerintahan Raja Sri Bagening yang memiliki seorang putra bernama I Gusti Gede Pasekan. Setelah dewasa, sang pangeran memutuskan meninggalkan istana untuk mendirikan wilayah kekuasaan baru di bagian utara pulau Bali.
Dalam perjalanannya, ia menemukan daerah subur yang ditumbuhi banyak jagung gembal. Daerah itu kemudian dinamakan "Buleleng," yang berasal dari kata "bulΓ©leng," artinya jagung yang tumbuh tidak beraturan. Di wilayah itu, ia mendirikan kerajaan dan memerintah dengan adil serta bijaksana. Seiring waktu, pusat pemerintahannya berpindah ke daerah yang diberi nama "Singaraja," yang berarti "raja singa," melambangkan keberanian dan kekuatan sang penguasa dalam melindungi rakyatnya.
Sejak saat itu, Buleleng dan Singaraja dikenal sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan di Bali Utara. Legenda ini menggambarkan semangat kepemimpinan yang bijak dan kecintaan terhadap tanah air, serta menegaskan bahwa nama tempat di Bali seringkali memiliki makna simbolis yang menggambarkan karakter wilayah dan sejarah penduduknya.
4. Kisah Bawang dan Kesuna
Di sebuah desa di Bali hiduplah dua saudara perempuan bernama Ni Bawang dan Ni Kesuna. Mereka hidup bersama orang tua yang sederhana. Ni Bawang dikenal sebagai gadis manja, licik, dan suka berpura-pura baik di depan orang tua, sementara Ni Kesuna adalah gadis rajin, jujur, dan selalu membantu tanpa banyak bicara.
Setiap hari, pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh Kesuna sementara Bawang hanya berpura-pura sibuk. Suatu hari, orang tua mereka menyuruh keduanya menumbuk padi. Ni Bawang menolak dan menyuruh Kesuna melakukannya sendiri. Karena lelah dan sedih, Kesuna pergi ke sungai dan bertemu seekor burung ajaib yang menolongnya dengan memberikan mahkota emas sebagai tanda kebaikan hatinya.
Ketika Bawang mengetahui hal itu, ia mencoba meniru perbuatan Kesuna, tetapi karena hatinya penuh iri dan niatnya tidak tulus, burung ajaib malah memberikan ular besar yang menyerangnya. Akhirnya, Bawang menyadari kesalahannya, sementara Kesuna tetap hidup bahagia. Kisah ini mengajarkan bahwa kejujuran dan kerja keras akan selalu mendapat ganjaran, sedangkan kemalasan dan sifat iri hanya membawa celaka.
5. Kisah I Ceker Cipak
Pada zaman dahulu di sebuah desa kecil di Bali hiduplah seorang pemuda bernama I Ceker Cipak bersama ibunya yang miskin. Meskipun hidup serba kekurangan, I Cipak dikenal sangat baik hati dan gemar menolong siapapun yang membutuhkan.
Suatu hari, ibunya memberinya sedikit uang untuk membeli jagung di pasar. Dalam perjalanan, ia melihat beberapa anak-anak yang sedang menyiksa hewan kecil. I Cipak merasa kasihan dan menggunakan uangnya untuk menebus serta melepaskan hewan-hewan tersebut. Ketika pulang tanpa membawa jagung, ibunya sempat marah.
Namun keajaiban terjadi, hewan-hewan yang diselamatkannya berubah menjadi makhluk ajaib yang kemudian membalas kebaikan I Cipak dengan memberinya kekayaan dan kebahagiaan. Kisah I Ceker Cipak mengajarkan bahwa kebaikan dan kasih sayang kepada sesama makhluk akan selalu kembali dalam bentuk kebahagiaan, meski dilakukan tanpa pamrih. Legenda ini menjadi simbol welas asih dan ajaran moral yang kuat dalam budaya Bali.
(nor/nor)











































