Sejarah Pura Jati Jembrana, Miliki Sumber Air Abadi di Pohon Jati

Jembrana

Sejarah Pura Jati Jembrana, Miliki Sumber Air Abadi di Pohon Jati

I Putu Adi Budiastrawan - detikBali
Rabu, 22 Feb 2023 09:34 WIB
Pohon teges (jati) yang memiliki sumber air abadi yang terdapat pada pangkal pohon di Pura Jati Jembrana, Minggu (19/2/2023). (I Putu Adi Budiastrawan/detikBali).
Foto: Pohon teges (jati) yang memiliki sumber air abadi yang terdapat pada pangkal pohon di Pura Jati Jembrana, Minggu (19/2/2023). (I Putu Adi Budiastrawan/detikBali).
Jembrana -

Pura Jati Jembrana di Banjar Ketapang Muara, Desa Pengambengan, Negara, Jembrana, Bali memiliki cerita sejarah dan keunikannya. Keunikan Pura Jati terdapat sumber mata air abadi di pangkal pohon jati yang digunakan sebagai tirta atau air suci.

detikBali berkesempatan untuk mengunjungi pura yang berjarak kurang lebih 8 kilometer ke arah selatan dari pusat Kota Negara. Sebelum masuk ke area pura, pemedek (sebutan umat Hindu) disambut dengan wantilan pura yang cukup luas serta tempat parkir kendaraan di luar area madya mandala.

Sebelum memasuki madya mandala, pemedek wajib melakukan prosesi pembersihan diri dengan memercikkan tirta (prayas) yang sudah disiapkan di sisi kiri dan kanan pintu masuk madya mandala. Setelah memasuki madya mandala, pemedek disambut dengan kori agung, apit lawang, bale kulkul dan dapur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian masuk ke wilayah utama mandala, terdapat tujuh palinggih (tempat pemujaan) di antaranya palinggih taksu, rambut sedana, ulun danu (tirta) di bagian utara; padmasana di bagian timur laut; gedong meru tumpang tiga, gedong simpen, penglurah di bagian timur; serta palinggih pepelik di tengah. Sedangkan di sebelah barat terdapat bangunan bale gong, bale piasan, serta gedong busana.

Selain tujuh palinggih di area utama mandala, terdapat empat pohon teges (jati) yang berukuran cukup besar. Satu pohon jati yang ukurannya paling besar terdapat sumber mata air abadi yang selama ini digunakan oleh Pemangku untuk keperluan tirta.

ADVERTISEMENT

Sejarah Pura Jati Jembrana

Dari informasi yang didapatkan detikBali, Pura Jati Jembrana memiliki beberapa versi sejarah yang berkembang di masyarakat. Kemudian pada 2022 dibuatkan "purana" atau buku untuk menetapkan sejarah Pura Dang Kahyangan Jati Jembrana, sehingga tidak membingungkan masyarakat.

"Dengan adanya Purana, informasi yang diterima pamedek itu pasti," ungkap Kelian Samania Pura Dang Kahyangan Jati Jembrana I Wayan Subawa (60), Minggu (19/2/2023)

Subawa menjelaskan sesuai yang tertuang pada purana, sejarah Pura Jati erat kaitannya dengan perjalanan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali serta dua Pura Dang Khayangan lain di Jembrana, yaitu Pura Dang Khayangan Gede Perancak dan Pura Dang Khayangan Mertasari.

"Keberadaan pura ini diperkirakan telah dibangun sekitar abad XV dan dikaitkan dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha dalam upaya melaksanakan dharmayatra di Bali," kata Subawa.

Munculnya Air Abadi dari Pohon Jati

Air tirta (air suci) yang muncul dari pangkal pohon jati di Pura Jati Jembrana, Minggu ((19/2/2023). (I Putu Adi Budiastrawan/detikBali).Air tirta (air suci) yang muncul dari pangkal pohon jati di Pura Jati Jembrana, Minggu ((19/2/2023). (I Putu Adi Budiastrawan/detikBali). Foto: Air tirta (air suci) yang muncul dari pangkal pohon jati di Pura Jati Jembrana, Minggu ((19/2/2023). (I Putu Adi Budiastrawan/detikBali).

Sebelum menapakkan kaki di Pura Jati, Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan dharma di Bali dari arah barat menuju timur. Namun sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur, Ida Danghyang terlebih dahulu menelusup di kawasan Jembrana (Jimbarwana).

Dari Purancak, Ida Danghyang melanjutkan perjalanan ke arah utara dan tiba pada suatu kawasan semak belukar yang menjadi tempat penggembalaan ternak penduduk sekitarnya. Sampai di tempat tersebut, istri dan putra-putri Ida Danghyang kelelahan demikian pula binatang piaraan dan pengembalaannya terlihat lesu karena kekurangan air.

Ida Danghyang kemudian bersemedi duduk bersila dan menancapkan tongkat yang dibawanya di dekat tempatnya duduk. Ida Danghyang memusatkan pikiran (ngranasika) mohon kepada Hyang Parama Kawi agar dianugerahi peneduh. Setelah selesai melakukan pemujaan, konon dari tongkat Ida Danghyang tumbuh pohon jati dan pada pangkal terdapat sendang (bulakan).

"Lama-kelamaan pohon jati semakin besar dan air keluar dari pangkal pohon jati. Di tempat tersebut kemudian dibangun pura untuk pemujaan Hyang Parama Kawi dan mengenang jasa-jasa Ida Danghyang Nirartha. Pura ini kemudian disebut Pura Jati," papar Subawa.

Setelah Ida Danghyang meninggalkan tempat tersebut, konon banyak penduduk sekitar berdatangan untuk merabas semak dan hutan. Sehingga tempat ini kemudian disebut awenan (rabasan hutan untuk kebun).

Rabasan hutan ini juga dipakai lahan persawahan yang disebut pabangket (sawah tadah hujan).

"Sementara air bertuah (tirtha) yang keluar dari pangkal pohon jati semakin hari semakin dikenal khasiatnya, selain diyakini dapat mengusir dan menyuburkan berbagai hama tanaman, juga sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit, dan juga sebagai tirtha panglukatan," ujar Subawa.

Subawa menuturkan semakin hari semakin banyak orang dari berbagai daerah datang (pedek tangkil) untuk memohon keselamatan dan berbagai permohonan lainnya. Dalam perkembangan, masyarakat semakin yakin bahwa keberadaan pura tersebut sangat tua atau tinggalan masa lampau atau warisan leluhur.

"Sampai saat ini, meski terjadi kekeringan ekstrem terjadi, air yang ada di pangkal pohon jati tetap ada, dan tidak pernah habis meski setiap hari di ambil," kata Subawa.

Saat ini, Pura Dang Khayangan Jati diempon oleh empat Desa Pekraman di Negara, yaitu Desa Pekraman Puseh Agung (Banjar Tengah), Desa Pekraman Lelateng, Desa Pekraman Tegal Badeng Kangin, dan Desa Pekraman Tegal Badeng Kauh.

"Untuk piodalan pura jatuh setiap enam bulan wuku, yaitu pada hari soma pon sinta, atau disebut juga soma ribek dua hari sebelum rerahinan Pagerwesi. Sebagian besar pemedek yang datang itu memohon dimudahkan dalam bekerja serta untuk mendapatkan tirta pembersihan (malukat)," tandas Subawa.




(nor/bir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads