Imama Lavi, dosen di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Denpasar, Bali, menilai penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) oleh mahasiswa semakin berlebihan.
Ia menyebut banyak mahasiswa hanya mengandalkan AI tanpa memahami konsep dasar, terutama di mata kuliah yang menuntut kemampuan membaca dan menemukan kesalahan dalam proses coding.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu ujian akhir semester (UAS) saya biasanya akali. Selain mengerjakan soal, mereka membuat studi kasus dan mempresentasikannya satu per satu. Saat sesi tanya jawab, terlihat siapa yang benar-benar memahami materi dan siapa yang terlalu bergantung pada AI," ujar Imama saat ditemui di lembaga pembelajaran miliknya (Decode STEAM), Rabu (10/12/2025).
Ia menyebut jawaban hasil AI cenderung mirip sehingga mudah dikenali ketika mahasiswa tak mampu menjelaskan ulang pemikirannya.
Imama menegaskan penggunaan AI bukan hal yang ia larang. Ia sendiri memanfaatkan teknologi tersebut untuk mencari ide saat brainstorming. Kekhawatirannya muncul ketika mahasiswa hanya menyalin jawaban dan melewatkan proses memahami dasar materi yang justru penting di awal pembelajaran.
Karena kondisi itu, Imama mengubah metode ujian. Jika sebelumnya mahasiswa hanya diminta menjawab soal, kini mereka wajib mengerjakan studi kasus nyata dan mempresentasikan hasilnya di kelas. Langkah itu dinilai lebih efektif untuk mengukur pemahaman langsung mahasiswa.
Ia mengatakan metode tersebut membuat mahasiswa lebih aktif bertanya dan memberikan argumen. Situasi ini, menurut Imama, menunjukkan mahasiswa jauh lebih tertantang ketika diminta mengerjakan kasus nyata dibanding hanya mengisi lembar jawaban.
"Inovasi model pembelajaran dan penilaian sangat penting sekarang. Kalau masih mengandalkan pola lama (kasih soal dan jawab di kertas) itu sudah tidak efektif lagi," tandas Imama.
(dpw/dpw)










































