Bertahan di Tengah Keterbatasan
Selain Prasasti besutan Aryantha, penerbit indie yang berbasis di Bali lainnya adalah Nilacakra. Penerbit Nilacakra didirikan oleh Ida Bagus Arya Lawa Manuaba pada 2018.
Gus Arya, panggilannya, menyebut keterbatasan biaya menjadi salah satu persoalan para penulis Bali untuk mengantar buah pikiran mereka sampai ke khalayak pembaca. Di sisi lain, tidak banyak penerbit yang mau memproduksi buku dengan jumlah yang minim.
Baca juga: Bahasa Bali Menolak Punah |
Realitas itu pula yang membuat Gus Arya mendirikan Nilacakra. Ia semakin mantap mengelola usaha penerbitan itu setelah naskah karyanya berjudul Alien Menurut Hindu ditolak beberapa kali oleh penerbit major. Idealisme pula yang menggerakkan Gus Arya untuk mengelola Nilacakra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagian besar buku yang saya tulis bersifat esoterik. Topik-topik yang dibahas berbeda dengan umum. Buku 'Alien' itu yang membuat saya 'ya sudah kita bikin sendiri (penerbitan).' Akhirnya jalan," ujar Gus Arya kepada detikBali, Sabtu (15/2/2025).
Selain menerbitkan karya-karyanya, Gus Arya juga membantu memfasilitasi sejumlah penulis Bali yang hendak menerbitkan buku. Beberapa buku yang diterbitkan lewat Nilacakra, antara lain Barong Brutuk (2019), Gula Pedawa (2021), hingga Waralaba 4.0 yang menyabet gelar buku terbaik III kategori kewirausahaan dalam Anugerah Pustaka Perpusnas 2020.
"Saya merangkul beberapa penulis dengan tipenya, dengan cirinya sendiri. Ada penulis sastra modern dan sebagian besar penulis yang datang kepada kami adalah para akademisi," ungkap Gus Arya.
Gus Arya tak begitu berpikir mendapat royalti dari buku-buku yang diterbitkan melalui Nilacakra. Ia hanya ingin ekosistem perbukuan di Bali lebih terstruktur dan sesuai standar penerbitan.
Bagi dia, penyebaran buah pikiran melalui buku jauh lebih penting ketimbang royalti. Terlebih bagi penerbit berskala kecil yang dia kelola itu.
"Hampir semua penerbit indie mengalami. Kami ingin buku itu terpublikasi. Apakah buku itu terindeks di mesin pencari atau tidak," imbuhnya.
![]() |
Made Sugianto juga memiliki kisah terkait usaha penerbitan yang dikelolanya. Sugianto merintis Pustaka Ekspresi, usaha penerbitan miliknya, sejak 2009. Mantan wartawan yang juga penulis sastra Bali modern itu tetap eksis mengelola Pustaka Ekspresi meski tak bisa meraup keuntungan banyak.
"Saya tidak mencari keuntungan di sana, tapi saya mencari kebanggaan. Misi saya, melestarikan bahasa Bali melalui tulisan," ujar Sugianto saat ditemui di kediamannya di Desa Kukuh, Tabanan, Senin (10/2/2025).
Pustaka Ekspresi lebih banyak menerbitkan buku-buku sastra Bali modern. Selain menerbitkan karya sendiri, Sugianto juga memfasilitasi penerbitan buku karya penulis Bali lainnya. Belakangan, Pustaka Ekspresi juga menerbitkan buku-buku berbahasa Indonesia.
Kini, Sugianto mengelola Pustaka Ekspresi di tengah-tengah kesibukannya sebagai Perbekel Kukuh, Tabanan. Penulis novel berbahasa Bali bertajuk Sentana Cucu Marep itu tidak pernah berpikir mendapat royalti dari penulis yang karyanya diterbitkan melalui Pustaka Ekspresi.
"Terus terang, saya hanya ingin membantu teman, terutama yang membuat buku berbahasa Bali," pungkas peraih Hadiah Sastra Rancage pada 2012 dan 2013 itu.
Simak Video "Video: Kala Alun-alun Bogota Jadi Lautan Botol Plastik"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/dpw)