Seni tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial, budaya, dan masyarakat, termasuk lingkungan di mana seni itu tercipta. Lewat fenomena ini, Made Bayak dan Tjandra Hutama berkolaborasi menciptakan karya seni instalasi dengan tajuk "I am a Tree" atau 'Saya Adalah Pohon'.
Karya seni instalasi ini merupakan kelanjutan dari pameran 'Crisis' di Jimba Art Hall yang berlangsung selama satu bulan, dari 26 Oktober-26 November 2025. Dalam kolaborasi ini, Made dan Tjandra membungkus batang pohon (menyarungi) dengan kain yang memiliki empat warna berbeda, yakni merah, putih, kuning dan hitam.
Karya mereka sarat akan penyadaran lingkungan yang mengajak khalayak luas untuk mencintai, menyayangi, merawat, dan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Warna-warna itu bila dikaitkan dengan filosofi Bali sarat akan makna yang dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warna merah melambangkan kekuatan Dewa Brahma, warna putih melambangkan Dewa Siwa, warna hitam melambangkan kekuatan Dewa Wisnu dan warna kuning melambangkan Dewa Mahadewa.
Tidak berhenti sampai situ, tiga unsur warna putih, hitam, dan merah juga sering dijumpai dalam gelang atau benang Tridatu yang melambangkan Tri Kona yang berarti bekal hidup setiap manusia, seperti Utpeti (lahir), Stiti (hidup), dan Pralina (mati), sedangkan kuning melambangkan keluhuran dan menjaga keseimbangan alam.
Di sisi lain, dalam keselarasan penjuru mata angin, hitam melambangkan arah utara, warna putih melambangkan arah timur, warna merah melambangkan arah selatan, dan warna kuning melambangkan arah barat.
"Bila menyarungi batang pohon di Bali, apa yang dilakukan Bayak dan Tjandra bukanlah hal yang aneh atau khusus, karena tradisi dan budaya masyarakat Bali telah lama melakukan hal yang sama yakni penghormatan pada pohon sebagai bagian dari spirit menjaga keharmonisan kehidupan," tutur Kurator Crisis Art Project Yudha Bantono dalam keterangan tertulis, Jumat (20/12/2024).
Selain itu, masyarakat Bali mengikat pohon dengan kain poleng, atau kain putih dan kuning. Seniman Made Wianta juga telah melakukan seni instalasi yang sama dengan menyarungi pohon sebagai bagian seni penyadaran lingkungan.
Yudha menuturkan bahwa baru-baru ini, seniman Jepang Yayoi Kosama pun juga menyarungi pohon dengan kain yang tergambar polkadot sebagai identitas karyanya. Namun, ada yang membedakan dengan karya dua seniman yang berbasis seni rupa dan fotografi ini, yaitu meletakkan QR Code di atas kain yang diikatkan pada pohon.
QR Code itu berisi film berdurasi pendek, film itu menyampaikan pesan betapa sangat penting pohon bagi kehidupan kita dan makhluk bumi lainnya, serta ajakan untuk mencintai dan melestarikan.
Langkah Banyak dan Tjandra untuk menggunakan QR Code ini merupakan bagian dari upayanya untuk mengenalkan seni rupa penyadaran dengan melibatkan system gawai yang sudah tidak asing bagi kebanyakan orang. Apalagi, zaman yang semakin berkembang sehingga penyadaran lingkungan pun harus sejalan dengan kemajuan itu.
Melalui seni instalasi 'I am a tree', Banyak dan Tjandra ingin menciptakan memori melalui QR Code yang dipindai sehingga publik dapat menyaksikan film pendek dan turut terlibat dalam gerakan konservasi lingkungan yang ingin mereka sampaikan.
Jika melihat potret keadaan hutan Indonesia, Data dari Forest Watch Indonesia memperlihatkan fenomena deforestasi sepanjang tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta Ha/tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap daerah. Kalimantan misalnya, nilai rata-rata deforestasi di provinsi ini sebesar 1,11 juta hektare per tahun, diikuti Papua dengan 556 ribu hektare per tahun, Sumatera 428 ribu hektare per tahun, Sulawesi 290 ribu hektare per tahun, Maluku 89 ribu hektare per tahun, Bali Nusa 38 ribu hektare per tahun, dan Jawa 22 ribu hektare per tahun. Dengan jumlah deforestasi sebanyak itu, Indonesia di ujung tanduk.
Seniman seringkali berperan sebagai cermin bagi masyarakat. Mereka mencerminkan yang keindahan sekaligus tantangannya. Made Bayak dan Tjandra Hutama yang berfokus secara khusus pada krisis yang dialami dunia saat ini menggunakan seni instalasi untuk mengedukasi masyarakat tentang peran penting pohon dalam ekosistem.
Kedua seniman ini menciptakan instalasi juga untuk mendorong para audiens supaya merenungkan hubungan mereka dengan lingkungan. Karya seni instalasi Made Bayak dan Tjandra Hutama menggabungkan unsur-unsur warna melalui kain yang sarat akan makna, sekaligus menumbuhkan rasa takjub, dan mendorong perbincangan tentang perubahan iklim dan konservasi.
Inisiator pameran seni rupa Crisis Dr. Putu Agung Prianta menuturkan bahwa sesungguhnya seni instalasi penyadaran lingkungan adalah respon kelanjutan dari bagian Crisis Art Project.
"Seni instalasi Made Bayak dan Tjandra Hutama sekaligus mengkritisi praktik pembangunan pariwisata di Bali yang semakin menghabiskan lahan, termasuk lahan-lahan perlindungan dimana harus membabat pohon-pohon. Atas permasalahan ini, mereka ingin menjadikan pembicaraan pohon sebagai bentuk refleksi melihat kembali perkembangan pembangunan pariwisata dengan menempatkan isu lingkungan sebagai pembicaraan penting," lanjutnya.
Lebih lanjut, Agung menuturkan kedua seniman yang berangkat dari kawasan Jimbaran Hijau dalam Crisis Art Project ini sangat cepat merespon isu tentang perubahan iklim dari keadaan dunia yang memang sedang dalam krisis yang gawat. Seni instalasi Bayak dan Tjandra setidaknya mengingatkan untuk tetap terus menjaga Bali dan Bumi ini agar tetap lestari.
Seni memang harus sensitif dengan keadaan, kiranya Bayak dan Tjandra benar-benar peka untuk menyuarakan betapa sangat penting pohon bagi kehidupan, terutama juga bagi keberlangsungan kehidupan anak cucu generasi mendatang.
(anl/ega)