Denpasar -
Di tengah riuh ulah warga negara asing (WNA) -sebagian besar bule- di Bali, Vaughan Hatch menjadi antitesis. Warga negara Selandia Baru yang sudah 26 tahun menetap di Pulau Dewata itu justru lebur dengan kebudayaan Bali, khususnya karawitan.
Ketertarikan Vaughan pada kesenian Bali bermula saat ia mengikuti program Darmasiswa pada 1997. Program beasiswa nongelar satu tahun untuk mahasiswa asing itu diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itu, Vaughan tengah berkuliah di jurusan bahasa Jepang Universitas Victoria.
Ada sejumlah kampus di Tanah Air yang dapat dipilih oleh Vaughan. Namun, ia -saat itu berumur 22 tahun- memilih belajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar -kini dikenal dengan ISI Denpasar- karena kepincut dengan seni karawitan Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vaughan mengetahui nada selendro dan pelog gamelan Bali dari piringan hitam dan kaset lawas koleksi sebuah perpustakaan. "Saya jatuh cinta dengan suara gamelan langka di Bali seperti semar pagulingan, selonding, palegongan, dan gender wayang," tutur pria berusia 48 tahun itu kepada detikBali, Selasa (9/5/2023).
Sejak berkuliah di STSI Denpasar, Vaughan makin jatuh cinta dengan kesenian dan budaya Bali. Menurut dia, penduduk Pulau Dewata sangat ramah dan terbuka bagi orang yang ingin belajar kesenian Bali. Hal itu juga yang membuat dia ingin menetap di Bali.
Setelah lulus dari STSI Denpasar, Vaughan terus melestarikan laras gamelan langka di Bali. Ia mempelajari karya penting maestro karawitan Bali seperti Wayan Lotring.
Bagaimana Vaughan melestarikan gamelan dan tari Bali? Baca selengkapnya di sini.
Vaughan mendirikan sebuah sanggar bernama Mekar Bhuana Centre pada 2000. Sanggar tersebut terletak di Denpasar, Bali.
Kecintaan Vaughan pada budaya Bali juga yang membuat dia menikah dengan Ni Putu Evie Suyadnyani. Ia bertemu dengan Evie pada 2002 saat meniliti gamelan pelegongan tua di Hotel Tandjung Sari, Sanur. Saat itu, Evie sedang latihan tari legong.
Vaughan dan Evie sering ngayah (belajar) gender (salah satu gamelan Bali) wayang berdua. "Lucunya, dia belajar gamelan dari saya," kenangnya.
Vaughan dan Evie memutuskan berumah tangga setelah dua tahun berpacaran. Dari pernikahan tersebut pasangan ini dikaruniai dua anak Gede Semara Richard dan Kadek Prana Gita.
Saat menikah, Vaughan memiliki nama Bali Wayan Pon Smara. Nama itu dipilih karena Vaughan merupakan anak sulung dan suka gamelan Semar Pagulingan. Sedangkan nama Pon diambil karena orang Bali sulit mengucapkan huruf V.
Wayan Pon kemudian membesarkan sanggar Mekar Bhuana Centre bersama istrinya. Sanggar tersebut kemudian membuka berbagai kelas seperti karawitan dan tari Bali. Evie sesekali mengajar tari Bali karena ia merupakan penari profesional.
Menurut Wayan Pon, Mekar Bhuana Centre makin terkelola dengan baik karena Evie pernah belajar manajemen pariwisata. "Jadi dia lebih mengerti memasarkan sanggar daripada saya," tuturnya. Kini, Evie menjadi direktur sanggar tersebut.
Wayan Pon mendirikan Mekar Bhuana Centre untuk mengembangkan laras atau nada Bali yang unik. Hal itu dia lakukan dengan cara mendokumentasikan hingga merepatriasi gamelan langka di Bali.
"Kemudian untuk merekonstruksi kembali gamelan yang sudah punah melalui rekaman suara, video, maupun ingatan sesepuh," imbuh Wayan Pon.
Mekar Bhuana Centre juga bisa memberdayakan masyarakat sekitar. Sejumlah warga setempat menjadi instruktur gamelan dan tari di sanggar tersebut.
Bahkan, Wayan Pon mengajarkan instruktur di Mekar Bhuana Centre bahasa Inggris. Sebab, sanggar itu kerap dikunjungi wisatawan asing yang ingin mengenal dan belajar tari serta gamelan Bali.
Sanggar Mekar Bhuana tidak melaksanakan pementasan secara rutin. Pementasan baru digelar jika ada permintaan.
"Pementasan kami tergantung pada permintaan, baik itu festival, event besar, grup, universitas, atau sekolah baik dari luar negeri maupun dalam negeri yang ingin memperdalam musik gamelan atau tari Bali," tutur Wayan Pon.
Wayan Pon mengeklaim Sanggar Mekar Bhuana sudah cukup berhasil mempopulerkan kembali laras gemelan klasik. Kini banyak grup yang kembali menggunakan konsep gamelan zaman dahulu.
Sanggar Mekar Bhuana juga beberapa kali pentas di luar negeri. Salah satunya, di Stasiun Utama Kota Wellington dan Bandara Wellington, Selandia Baru.
Artikel ini ditulis oleh Ni Luh Made Yari Purwani Sasih dan Hanna Patricia M. Lubis peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Video: Melihat Pemusnahan Puluhan Ribu Kartu SIM Bekas Kejahatan Skimming"
[Gambas:Video 20detik]