Gubernur Bali Wayan Koster 'curhat' mengenai pengelolaan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung Denpasar tidak pernah berhasil. Padahal berbagai tawaran sempat masuk, salah satunya mengolah sampah menjadi energi.
"Berbagai tawaran datang, katanya akan mengolah menjadi energi, menjadi ini, menjadi itu, semua gak ada yang berhasil, gagal semua. Dan bahkan tendernya pun gak jadi-jadi," kata Koster dalam peluncuran aksi #GilasSampah, Minggu (17/4/2022).
Gagalnya pengelolaan sampah menjadi energi di TPA Suwung menyebabkan Koster mengambil keputusan untuk melakukan pengelolaan sampah dengan pola lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola tersebut yakni penerapan kebijakan penanganan sampah berbasis sumber yang diregulasi melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 47 tahun 2018.
Menurut Koster, pengelolaan sampah berbasis sumber diselenggarakan di tingkat desa, kelurahan dan desa adat. Kebijakan ini juga dilakukan bertingkat hingga ke kabupaten/kota se-Bali.
"Prinsip dasarnya adalah setiap yang menghasilkan sampah, siapa yang membuat sampah dia yang harus menyelesaikan sampahnya itu sendiri. Jangan kita yang membuat sampah orang lain yang disuruh menyelesaikan. Saya kira itu logika yang tidak tepat," jelasnya.
Koster menilai, kebijakan pengelolaan sampah berbasis sumber sistemnya lebih mendidik, memberikan kesempatan dan tanggung jawab kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah. Sistem ini juga menjamin keberlanjutan penanganan pengelolaan sampah di Pulau Dewata.
"Itulah sebabnya di Bali sekarang dilakukan Peraturan Gubernur ini dan mulainya adalah dari tingkat rumah tangga. Sampah dipilah di tingkat rumah tangga, dipilah menjadi yang organik, nonorganik dan residunya. Paling tidak dipilah menjadi tiga komponen di rumah tangga," ungkap Koster.
Tak sekadar memilah, pengelolaan sampah berbasis sumber juga diselesaikan di tingkat desa dengan tempat pengelolaan sampah reuse, reduce dan recycle (TPS3R). Hingga akhir 2021, sebanyak 214 desa/kelurahan telah mempunyai TPS3R.
"Astungkara di Bali sampai saat ini dari 636 desa (dan) 80 kelurahan, saat ini sudah terdapat 214 desa yang TPS3R-nya bisa beroperasi sampai tahun 2021," paparnya.
Tak hanya itu, Koster juga menyebut bahwa semenjak Pergub Bali Nomor 47 tahun 2018 diluncurkan pada awal 2019, sejumlah desa di Bali telah mampu melaksanakan trobosan dan menginisiasi pengelolaan sampah tanpa arahan dari pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
"Ada sejumlah desa yang luar biasa bekerjanya dengan peraturan gubernur ini," ujar Gubernur Bali asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng itu.
Selain regulasi mengenai pengelolaan sampah berbasis sumber, Bali juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik. Kedua peraturan ini kemudian disinergikan sehingga sampah organik di TPS3R bisa langsung dimanfaatkan untuk pertanian.
"Jadi sampah organik yang diolah di TPS3R menjadi pupuk organik langsung bisa dimanfaatkan untuk mendukung pertanian organik yang ada di desa itu," ucapnya.
"Kemudian yang sampah non organik diolah menjadi suatu produk ekonomi yang diselesaikan di tempat TPS3R-nya. Dan yang residu pengalamannya sekitar 10 sampai 16 persen itu diselesaikan dengan suatu peralatan untuk menyelesaikanya tersendiri," tegas Koster.
(kws/kws)