Liputan Khusus Puputan Margarana (1)

Bali Setelah 1945: Jalan Panjang Menuju Puputan Margarana

Daniel Pekuwali - detikBali
Kamis, 20 Nov 2025 06:00 WIB
Pahlawan Nasional dari Bali, I Gusti Ngurah Rai. (Foto: dok. Arsip Nasional)
Denpasar -

Kekalahan Jepang pada Agustus 1945 menciptakan kekosongan kekuasaan yang panjang di Bali. Situasi ini membuat pergerakan politik di tingkat desa, puri, dan kelompok pemuda berubah menjadi arena perebutan kontrol.

Di tengah kondisi itu, I Gusti Ngurah Rai dan jaringan pejuang Ciung Wanara merumuskan strategi yang kemudian mengarah pada pertempuran terakhir di Margarana.

Kekosongan Kekuasaan Usai Jepang Menyerah

Sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam Bali: Colonial Conceptions & Political Change menjelaskan setelah Jepang menyerah, struktur pemerintahan Bali berada dalam keadaan menggantung dan mengandalkan inisiatif para tokoh lokal untuk menjaga ketertiban. Tidak ada kekuatan resmi yang mengontrol penuh situasi, sementara pemuda Bali bergerak cepat menyatakan dukungan kepada Republik.

Pemerintahan Jepang di Denpasar yang tersisa hanya mengurus transisi, namun tidak lagi memiliki legitimasi. Kesempatan ini dimanfaatkan para pemuda dan kelompok bersenjata yang mulai mengorganisasi persenjataan dan membentuk laskar-laskar awal.

Masuknya NICA dan Ketegangan Baru

Memasuki Oktober 1945, proses politik makin rumit ketika NICA mendarat di Bali. Arsip militer Belanda 'Memories van Overgave' mencatat bahwa tujuan utama NICA adalah mengembalikan administrasi kolonial Hindia Belanda, bukan menerima kedaulatan Republik yang baru diproklamasikan. Narasi itu langsung menimbulkan gesekan dengan kelompok pro-Republik di Bali.

Dalam situasi ini, Ngurah Rai-yang ketika itu masih berada di Jawa-menilai Bali berada dalam posisi genting karena kepemimpinan militer belum terbentuk kuat. Ia lalu kembali ke Bali melalui Banyuwangi pada akhir 1945 untuk mengambil alih komando pasukan.

Mengapa Ngurah Rai Memilih Strategi Perang Total?

Keputusan Ngurah Rai menggunakan strategi perang total bukan tindakan spontan. Sejarawan TNI, Kolonel I Gde Widya, dalam laporan Pusat Sejarah TNI (1978) menegaskan Ngurah Rai memandang kekuatan pasukan Belanda tidak memberi peluang kompromi. Laporan intelijen internal yang dikutip Widya menyebut bahwa operasi NICA bukan operasi administratif, tetapi operasi militer penuh.

Ngurah Rai sendiri berasal dari pendidikan Peta (Pembela Tanah Air) dan Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), yang membentuk cara pandangnya: ketika kekuatan militer lawan lebih besar, perang gerilya menjadi satu-satunya opsi realistis.

Jaringan Ciung Wanara yang ia bentuk adalah kombinasi kelompok pemuda desa, eks-prajurit Jepang di Bali, serta perwira yang dilatih di Jawa.

Keputusan untuk melakukan Long March Gunung Agung-Marga merupakan bagian dari strategi itu: memusatkan laskar tersebar menuju satu komando tempur agar bisa memberi perlawanan berarti.

Catatan Akademisi Udayana, A.A. Bagus Wijaya dalam jurnal Humaniora Udayana (2016), menjelaskan jaringan pejuang Bali sebenarnya tidak homogen. Ada kelompok puri yang mendukung Republik, ada yang memilih netral, dan ada pula yang enggan terlibat konflik langsung.

Beberapa pasukan lokal bahkan sempat berdebat mengenai langkah menghadapi Belanda: apakah mempertahankan strategi gerilya atau mengerahkan seluruh kekuatan dalam satu pertempuran besar.

Ngurah Rai akhirnya memutuskan untuk menggabungkan kedua strategi itu: bergerak secara gerilya, tetapi siap bertempur habis-habisan jika posisi mereka terkepung.

Keputusan itu yang kemudian membawa pasukan Ciung Wanara pada situasi tidak terhindarkan di Margarana.

Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"


(dpw/nor)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork